Jakarta (ANTARA News) - Pada bulan November 2015, Organisasi Maritim Internasional (IMO) akan menghelat sidang tahunan pemilihan anggota Council atau Dewan periode 2016--2017.
Dalam statuta organisasi di bawah naungan PBB dan bermarkas di kota London, Inggris, itu Council merupakan sebuah organ yang berfungsi menjalankan seluruh tugas organisasi, kecuali membuat rekomendasi untuk pengadopsian regulasi keselamatan maritim yang merupakan kewenangan Maritime Safety Committee.
Council adalah lembaga penting dalam IMO selain Assembly dan cukup bonafid karena hanya berjumlah 40 negara yang dipilih dari 171 negara anggota IMO.
Sebagai anggota, Indonesia merupakan satu dari 40 negara itu dengan status kategori C yang disandang sejak 1971. Posisi ini dicapai sepuluh tahun setelah Indonesia bergabung dengan IMO pada tahun 1961.
Seperti biasa, Indonesia kembali mencalonkan diri sebagai anggota Council untuk periode 2016--2017 dan lobi untuk memuluskan rencana itu sudah digelar dengan mengundang kedubes negara-negara sahabat dalam diplomatic reception di Kementerian Perhubungan medio September lalu. Seperti biasa pula, Indonesia selalu sukses dan masuk dalam Council.
Singkat cerita, sidang tahunan Council IMO selama ini menjadi rutinitas bagi Indonesia. Namun, ini tidak berarti bahwa utusan kita di sana tidak bekerja dengan serius, malah sebaliknya.
Ada banyak cerita sukses yang ditorehkan oleh mereka untuk kepentingan maritim nasional dan internasional yang amat layak diapresiasi.
Poros maritim
Adakah peluang untuk keluar dari rutinitas yang ada tadi? Tentu ada. Dengan dikenalkannya poros maritim, termasuk tol laut oleh Presiden RI Joko Widodo, bidang kemaritiman Indonesia mengalami dinamika yang relatif cukup signifikan sehingga pihak luar negeri perlu mendapat penjelasan utuh terkait dengan kedua kebijakan tersebut dan signifikansinya bagi Indonesia dan komunitas maritim global.
Penjelasan tentang poros maritim sangat diperlukan oleh komunitas maritim global--sebetulnya masyarakat domestik juga memerlukannya--karena dia termasuk istilah atau nomenklatur baru jika tidak mau disebut "absurd".
Penulis ditanya oleh seorang kolega dari Malaysia yang kebetulan sama-sama menghadiri sebuah konferensi tentang Laut Cina Selatan di Kuala Lumpur awal September 2015. Dia bertanya apa sesungguhnya poros maritim itu?
Takbanyak yang bisa saya sampaikan kepadanya karena penulis sendiri tidak memperoleh penjelasan (resmi) mengenai apa poros maritim itu sesungguhnya. Sebagian pihak menjelaskan gagasan mantan Wali Kota Surakarta itu sebagai upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat wisata bahari.
Ada juga yang mengaitkannya sebagai sentra perikanan dan lain sebagainya. Semua penjelasan ini bagi masyarakat kemaritiman mondial memang terasa aneh. Mereka memakai istilah international maritime center (IMC) untuk menggambarkan apa yang kita sebut poros maritim.
Sah-sah saja sebenarnya menggunakan istilah lain, tetapi industri maritim adalah salah satu bisnis yang diatur secara global sehingga kesamaan bahasa atau istilah dan pemaknaannya mutlak diperlukan.
International maritime center adalah sebuah pelabuhan atau negara yang telah berhasil membangun aneka macam fasilitas, infrastruktur, dan regulasi sehingga menarik minat kalangan pelayaran internasional dan komunitas maritim lainnya untuk mendatanginya dan dapat menjalankan bisnis yang menguntungkan di pelabuhan/negara bersangkutan.
Jadi, untuk menjadi IMC yang baik, yang diperlukan adalah kemampuan menarik pemain internasional dengan berbagai kemudahan untuk datang dan menjalankan bisnis. Singapura dikenal sebagai salah satu IMC yang terbaik. Status IMC yang didapat oleh negeri jiran itu bertumpu pada posisinya sebagai sebuah hub kemaritiman global.
Sejalan dengan statusnya, Singapura saat ini menjadi lokasi berkantornya lebih dari 4.200 multinational corporations (MNC) dan 26.000 perusahaan mancanegara lainnya.
Mereka terdiri atas shipbrokers, charterers, marine insurers, maritime law, dan sebagainya. Dalian di Tiongkok juga merupakan IMC yang terkenal di kawasan Asia. Disebut meniru atau copy-paste apa yang dilakukan oleh Singapura, kota ini juga menjadi incaran pelaku bisnis maritim dunia.
Dubes maritim
Menjelaskan sesuatu yang belum jelas rasanya lumayan berat, apalagi bila yang menjelaskannya juga berada dalam keterbatasan. Itulah yang terjadi dengan perwakilan Indonesia di IMO.
Kendati yang menjadi permanent representative atau wakil tetap Indonesia di IMO adalah Duta Besar RI di London. Namun, dalam pelaksanaannya yang menghadiri sebagian besar sidang IMO adalah atase perhubungan (athub) dengan posisi sebagai alternate representative.
Atase hanyalah pejabat eselon III dengan kewenangan yang terbatas. Padahal, dia harus menghadiri sidang-sidang IMO yang berlangsung 36--40 minggu setiap tahunnya. Sebagai perbandingan, RI menempatkan Duta Besar di UNESCO. Beberapa negara anggota IMO lainnya pun mempunyai perwakilan setingkat duta besar. Sebagai pembanding, Malaysia yang baru pertama kali terpilih sebagai anggota IMO pada tahun 2005 menempatkan personel dengan kualifikasi kelas satu.
Malaysia pernah tercatat menempatkan mantan/pensiunan Direktur Jenderal Marine Department (setingkat Direktur Jenderal Perhubungan Laut).
Dengan pengalamannya perwakilan Malaysia di IMO dapat berperan aktif dalam pembahasan setiap isu. Posisi diplomasi maritim RI yang hanya berstatus atase tadi diperparah dengan pemilihan seorang pegawai Kemenhub menjadi athub.
Athub seringkali berupa hadiah "hiburan" bagi pejabat-pejabat yang tidak berhasil memperoleh posisi di eselon II di kantor pusat. Mereka tidak dipersiapkan dengan baik, bahkan terbukti dengan bahasa Inggris yang sangat rendah.
Oleh karena itu, kerap muncul kesenjangan dalam berkomunikasi dengan mitra. Misalnya, salah menyampaikan statement tentang posisi Indonesia, dan bahkan banyak juga yang malah tidak berani berbicara. Kondisi inilah yang tampaknya menyebabkan kita tidak bisa mengambil keuntungan dengan posisi sebagai negara maritim terbesar di dunia. Oleh karena itu, tampaknya posisi athub perlu dikaji ulang.
Titik berangkatnya adalah menempatkan duta besar di IMO. Sudah saatnya mengakhiri praktik atase perhubungan sebagai orang yang mengurusi pejabat Kemenhub yang sedang dinas ke luar negeri.
*) Penulis adalah Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
(A041/D007)
Oleh Siswanto Rusdi *
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015