Semarang (ANTARA News) - Kerajinan dari kulit buaya mulai diminati di Kota Semarang seiring dengan pemasaran yang dilakukan sejumlah pengrajin produk tersebut melalui pameran kerajinan tangan.
"Saat ini peminat produk ini di Kota Semarang sudah mulai banyak, tetapi karena harganya yang tidak murah jadi peminatnya terbatas dari kalangan menengah ke atas," kata salah satu produsen produk dari kulit buaya asal Papua Joko Tri Wahyono di sela keikutsertaan pada pameran kerajinan tangan di Mal Ciputra Semarang, Senin.
Menurut dia, dibandingkan dengan beberapa daerah lain, penjualan di Kota Semarang cukup baik tetapi belum sebaik di Jakarta.
"Kebetulan saya memasarkan produk ini di Kota Semarang belum lama, sebagian masyarakat di Semarang kebanyakan masih sebatas bertanya dan kagum. Kalau di Jakarta sudah beberapa kali, jadi pemasarannya masih lebih banyak ke sana," katanya.
Mengenai bahan baku, pihaknya masih sebatas menggunakan kulit buaya asli Papua. Menurut dia, sejauh ini bahan baku tersebut masih mudah diperoleh.
"Saya khusus menggunakan kulit dari buaya liar, karena kalau menggunakan yang dari penangkaran tentu harganya lebih mahal karena harus disesuaikan dengan biaya pemeliharaan," katanya.
Meski demikian, dalam memperoleh bahan baku tersebut bukan perkara yang mudah karena harus mengurus surat izin. Pihaknya harus memastikan surat izin dari Pemerintah karena tidak ingin produknya dianggap ilegal.
"Buaya merupakan salah satu binatang yang dilindungi, tetapi selama kami memiliki izin yang resmi dari Pemerintah maka penggunaan bahan baku dari buaya tidak dipermasalahkan," katanya.
Untuk satu lembar kulit buaya, dirinya bisa membuat dua produk ukuran kecil atau satu produk ukuran besar. Untuk beberapa produk yang dapat dihasilkan di antaranya tas, dompet, sepatu, ikat pinggang, dan tas golf.
"Harga ikat pinggang sekitar Rp700 ribu, untuk sepatu harganya di kisaran Rp1,5 juta, sedangkan tas bisa sampai Rp3 juta. Sementara itu, untuk yang paling mahal tas golf mencapai Rp25 juta," katanya.
Pewarta: Aris Wasita Widiastuti
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015