"Penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu juga merupakan uji ketahanan bangsa sebagai negara hukum," kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, lewat surat elektronik kepada www.antaranews.com, Kamis.
Menurut Hendardi, dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 jelas menyatakan Indonesia negara hukum. Pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu, lanjutnya, akan menunjukkan hukum berdaulat di Republik Indonesia.
Menurut Hendardi, dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 jelas menyatakan Indonesia negara hukum. Pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu, lanjutnya, akan menunjukkan hukum berdaulat di Republik Indonesia.
"Atas nama prioritas pembangunan, pemerintahan Jokowi bisa berdalih prioritas mereka saat ini adalah pembangunan ekonomi, apalagi di tengah situasi ekonomi global dan pasar keuangan yang tidak menentu," kata alumnus Yayasan LBH Jakarta itu.
"Argumentasi ini adalah cara menghindari tanggung jawab konstitusional Jokowi yang melekat di dalamnya kewajiban menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat," ujar Hendardi.
Menurut dia, saat ini merupakan momentum agar Presiden Joko Widodo memenuhi janjinya dalam Nawacita untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Mengambil jalan pragmatis sebagaimana dituangkan dalam RPJMN, Jokowi harus segera membentuk Komisi ad hoc Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan Korban," ujar Hendardi.
Setara Institute mengusulkan agar Komisi tersebut berisi sejumlah tokoh masyarakat dengan komitmen yang tinggi pada kemanusiaan dan HAM.
Menurut dia, saat ini merupakan momentum agar Presiden Joko Widodo memenuhi janjinya dalam Nawacita untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Mengambil jalan pragmatis sebagaimana dituangkan dalam RPJMN, Jokowi harus segera membentuk Komisi ad hoc Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan Korban," ujar Hendardi.
Setara Institute mengusulkan agar Komisi tersebut berisi sejumlah tokoh masyarakat dengan komitmen yang tinggi pada kemanusiaan dan HAM.
Mereka bukanlah perwakilan dari berbagai kementerian atau institusi negara seperti TNI, Polri, BIN, tetapi tokoh independen dan imparsial.
"Mustahil lembaga ini diisi oleh elemen negara, karena dalam konstruksi hukum HAM aktor utama pelanggaran HAM adalah negara," kata dia.
"Pembentukan komisi ini juga sekaligus mengabaikan langkah yang selama ini direkomendasikan agar membentuk UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, karena ketika Presiden Jokowi sudah memiliki niat menuntaskan pelanggaran HAM, maka melalui mekanisme eksekutif langkah ini lebih dari cukup tanpa harus membutuhkan UU baru," jelas dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan, Komisi Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan Korban akan bekerja atas dasar bahwa rekonsiliasi adalah produk keluaran, hasil, dari suatu proses pengungkapan kebenaran.
Lebih lanjut, dia mengatakan, Komisi Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan Korban akan bekerja atas dasar bahwa rekonsiliasi adalah produk keluaran, hasil, dari suatu proses pengungkapan kebenaran.
"Jadi, yang utama harus dilakukan oleh Komisi ini adalah mengungkap kebenaran, lalu merekomendasikan langkah lanjut apakah sebuah kasus bisa direkonsiliasi atau diselesaikan melalui mekanisme pengadilan," kata dia.
"Karena itu, komisi ini harus diberi mandat yang jelas dan kuat bukan binatu baru yang bertugas mencuci kejahatan masa lalu," katanya.
Menurut dia, tugas pertama dari komisi negara tersebut antara lain melakukan pengkajian terhadap semua laporan yang berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk laporan awal yang sudah dibuat oleh Komnas HAM.
Menurut dia, tugas pertama dari komisi negara tersebut antara lain melakukan pengkajian terhadap semua laporan yang berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk laporan awal yang sudah dibuat oleh Komnas HAM.
Kemudian, meminta agar semua dokumen publik yang memiliki keterkaitan dengan kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk terkait peristiwa G30S/PKI dibuka kepada publik, termasuk dokumen yang dimiliki aparat keamanan dan intelijen.
Pewarta: Monalisa
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015