"Yang terpenting sejarah yang bengkok ini diluruskan karena lewat sejarah ini lah generasi penerus kita akan terbentuk," kata Didit Haryo yang merupakan pekerja LSM kepada ANTARA News, Kamis.
Menurut Didit, pengungkapan fakta dari berbagai pelanggaran HAM masa lalu yang masih tanda tanya sampai saat ini merupakan langkah awal untuk selanjutnya melakukan upaya rekonsiliasi.
"Jelas yang paling utama adalah mengungkap kasus HAM di masa lalu biar terang dan jelas, setelah itu baru rekonsiliasi," ujarnya.
"Bicara rekonsiliasi juga tidak musti yang salah harus dihukum. Saya pikir para korban dan keluarga korban sudah memaafkan kok," tambahnya.
Hal senada disampaikan Eko Primabudi yang merupakan mahasiswa PHD di Berlin, Jerman. Menurut Eko, belum adanya keterbukaan atas fakta dari pelanggaran HAM masa lalu membuatnya skeptis, termasuk pada tragedi 1965.
"Pengungkapan fakta itu penting sekali tetapi lebih penting lagi setelah itu harus ada rekonsiliasi," ujarnya.
Ia menambahkan, rekonsiliasi juga bukan hal yang mudah diwujudkan. Apalagi, ia mencurigai banyak oknum dibalik peristiwa 1965 yang memiliki kekuatan sampai saat ini.
"Harus ada tekanan internasional, dari PBB misalnya," kata Eko.
Trino Prayoga menambahkan dengan adanya rekonsiliasi diharapkan bisa menyelesaikan hal-hal dari sejarah yang selama ini belum terungkap.
"Banyak generasi muda yang harus disadarkan tentang sejarah bangsanya," kata Trino yang merupakan seorang karyawan itu.
Pemerintah saat ini seperti disampaikan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan akan melakukan upaya rekonsiliasi kasus pelanggaran HAM masa lalu. Termasuk akan mengungkap kebenaran dibalik peristiwa 1965.
Sejumlah pihak mengharapkan agar Presiden Joko Widodo mengambil inisiatif untuk meminta maaf atau menyatakan penyesalan kepada korban pelanggaran HAM tragedi 1965.
Namun, Presiden Joko Widodo membantah bahwa pemerintah akan meminta maaf kepada korban tragedi 1965.
Sebelumnya dalam kampanyenya, Presiden Joko Widodo berkomitmen akan menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran HAM yakni Peristiwa 1965-1966; Penembakan Misterius 1982-1985; Kasus Talangsari-Lampung 1989.
Selain itu, kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998; Kerusuhan Mei 1998; Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998/1999; serta Wasior-Wamena 2001/2003.
Pewarta: Monalisa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015