Jakarta (ANTARA News) - Bhineka tinggal duka, diskriminasi merata, manusia berlomba-lomba, orang-orang semakin gila, termakan doktrin massa jadi penentu surga, menghakimi manusia, bangga membunuh Tuhan-nya.
Demikian potongan syair lagu "Negeriku Semakin Horor" karya Fajar Merah, putra bungsu penyair dan aktivis hak asasi manusia Wiji Thukul, pegiat penentang rezim Orde Baru yang sejak 27 Juli 1998 hilang tak diketahui rimbanya.
Thukul hilang saat Fajar, yang lahir 23 Desember 1993, masih berusia empat tahun.
Istri Thukul, Siti Dyah Sujirah, telah melapor ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bahwa suaminya hilang pada April 2000.
Tapi sampai sekarang keberadaan Thukul dan para aktivis yang hilang pada masa itu masih menjadi misteri. Para pegiat belum melihat upaya nyata pemerintah untuk mengungkap kasus tersebut.
Fajar mengatakan pemerintah seharusnya segera menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, termasuk perkara penculikan aktivis tahun 1998.
"Maunya saya ya segera dituntaskan. Itu pelanggaran berat loh, masak enggak diperhatikan? Nanti yang pelanggaran ringan bisa diabaikan," kata Fajar saat dihubungi ANTARA News dari Jakarta, Kamis.
Untuk menyuarakan hatinya, Fajar mulai membuat lagu sejak tahun 2011. Dia juga melagukan puisi-puisi karya ayahnya.
Musikalisasi puisi-puisi Wiji Thukul yang ia garap bersama band-nya, Merah Bercerita, menjadi bagian dari upaya Fajar untuk meneruskan apa yang diperjuangkan sang ayah.
"Lagu juga adalah segala keluh kesah saya sebagai manusia, seperti doa. Doa untuk semesta ku dan semesta kita," tutur Fajar.
Pemerintah sudah berjanji melakukan rekonsiliasi terkait kasus-kasus pelanggaran hak asasi pada masa lalu.
Presiden Joko Widodo sudah menyampaikan komitmennya menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran hak asasi, antara lain yang menyangkut Peristiwa 1965-1966; penembakan Misterius 1982-1985; kasus Talangsari-Lampung 1989.
Selain itu juga kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998; kerusuhan Mei 1998; kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998/1999; serta kasus Wasior-Wamena 2001/2003.
"Memang seharusnya begitu," kata Fajar.
Dia menyambut baik komitmen pemerintah tersebut tapi tak berhenti menyampaikan pesannya. Lewat senandung lagu dia terus mengalirkan pesan, menjaga ingatan akan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.
"Bagi saya sudah percuma teriak-teriak tetapi tidak didengar, mending nyanyi saja," ujarnya.
"Kita mainkan cara kita sendiri," demikian Fajar Merah.
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015