Saat kejadian penganiayaan di Balai Desa Selok Awar-Awar, ada sejumlah anak-anak di PAUD yang menyaksikan aksi kekerasan yang dilakukan massa terhadap korban Salim."
Lumajang (ANTARA News) - Kekerasan terhadap aktivis antitambang kali ini menimpa dua warga Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Dua petani yang menolak penambangan pasir yang diduga mengandung biji besi di Pantai Watu Pecak yakni Salim Kancil (52) dan Tosan (51) menjadi korban kekerasan oleh preman bayaran yang disuruh oleh pelaku penambangan pada Sabtu (26/9).
"Pak Tosan didatangi segerombolan orang di rumahnya dengan membawa pentungan kayu, pacul, celurit, dan batu. Tanpa banyak bicara, massa menghajar Pak Tosan di rumahnya," kata anggota Tim Advokasi Tolak Tambang Pasir Lumajang, Aak Abdullah Al-Kudus di Lumajang.
Petani antitambang itu sempat menyelamatkan diri dengan menggunakan sepeda angin, namun massa yang mengendarai sepeda motor menabrak korban di lapangan yang tak jauh dari rumahnya.
Aksi kekerasan tidak berhenti di situ, orang-orang suruhan pelaku penambangan itu memukuli Pak Tosan dengan berbagai benda yang sudah dibawa. Bahkan korban sempat ditelentangkan di tengah lapangan dan dilindas motor berkali-kali.
"Penganiayaan terhadap Pak Tosan berhenti setelah teman korban, Ridwan datang melerai, kemudian korban dengan kondisi luka parah dibawa Puskesmas Pasirian, lalu dirujuk ke RSUD Lumajang dan dirujuk lagi ke Rumah Sakit Bhayangkara Lumajang," ucap Aak yang juga Koordinator Laskar Hijau Lumajang itu.
Setelah menganiaya Tosan, massa kemudian menuju ke rumah Pak Salim alias Kancil dan pada saat itu korban sedang menggendong cucunya yang masih berusia sekitar 5 tahun.
Massa langsung mengikat kedua tangan Salim Kancil, kemudian memukuli dengan kayu dan batu. Massa menyeret Salim dari rumah korban menuju Balai Desa Selok Awar-Awar yang berjarak sekitar 2 kilometer.
Petani yang menjadi tulang punggung keluarga itu disiksa di balai desa setempat, bahkan konon disetrum berkali-kali.
"Penyiksaan tidak berakhir di balai desa, massa membawa Pak Kancil ke sekitar tempat pemakaman yang sepi, kemudian dipukuli menggunakan batu dan korban akhirnya ambruk ke tanah. Massa terus memukuli korban yang sudah tidak berdaya," tutur Aak.
Di tempat itu Salim meninggal dunia dengan posisi tertelungkup dengan kayu dan batu berserakan di sekitarnya.
Koordinator Badan Pekerja Kontras Surabaya, Fathul Khoir mengatakan kejadian yang menimpa dua aktivis antitambang di Desa Selok Awar-Awar seharusnya tidak terjadi, apabila ada keseriusan dari aparat kepolisian yang menanggapi laporan korban mengenai ancaman pembunuhan.
"Terkesan ada pembiaran dari aparat kepolisian karena perwakilan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar pernah melaporkan adanya ancaman kepada Kasat Reskrim Polres Lumajang, namun polisi tidak bergerak cepat untuk mengantisipasinya," Fathul.
Pada 21 September 2015, Forum mengirim surat pengaduan terkait dengan "ilegal minning" yang dilakukan oknum aparat Desa Selok Awar-Awar di daerah hutan lindung Perhutani.
25 September 2015, Forum yang dibentuk 12 warga desa setempat itu mengadakan koordinasi dan konsolidasi dengan masyarakat untuk melakukan aksi penolakan tambang pasir karena aktivitas penambangan tetap berlangsung dan aksi itu rencananya digelar pada 26 September 2015.
"Rencana demonstrasi itu sudah diketahui oleh aparat kepolisian, namun kedua aktivis Pak Kancil dan Pak Tosan dianiaya, sebelum aksi dilakukan karena massa menculik dan melakukan penganiayaan terhadap keduanya," paparnya.
Teror di pesisir selatan
Berdasarkan informasi yang dihimpun di lapangan, teror dan ancaman pelaku penambangan terhadap warga tidak hanya terjadi di Desa Selok Awar-Awar, namun hampir terjadi di beberapa lokasi penambangan di pesisir selatan Lumajang.
Polres Lumajang menyatakan bahwa penambangan yang berada di Desa Selok Awar-Awar merupakan penambangan ilegal.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur Ony Mahardika mendesak pemerintah provinsi setempat untuk menutup penambangan pasir di Kabupaten Lumajang dan seluruh kabupaten/kota di Jatim.
"Penambangan pasir di pesisir pantai selatan Lumajang sudah merusak lingkungan dan wilayah selatan seharusnya tidak dijadikan kawasan tambang," katanya.
"Izin penambangan saat ini berada di wilayah Pemprov Jatim, sehingga kami mendesak Pemprov Jatim dan Pemkab Lumajang menutup penambangan pasir karena aktivitas penambangan menjadi pemicu bencana alam," tuturnya.
"Hampir semua kawasan pesisir pantai selatan dari Pacitan hingga Banyuwangi dilakukan penambangan bahan galian C, padahal kawasan itu seharusnya dijaga kelestarian lingkungan dan tidak dieksploitasi penambangan pasir besi," paparnya.
Koordinator Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar, Hamid mengatakan Almarhum Salim Kancil yang sehari-hari bekerja di sawah tidak bisa memanen hasil padinya karena penambangan yang semakin merusak lingkungan dan irigasi pertanian, sehingga ia bersama 11 teman lainnya membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar sebagai perjuangan untuk menolak eksploitasi penambangan pasir.
"Ada sekitar 40 kepala keluarga yang bertani di sekitar penambangan tidak bisa menikmati hasil panennya karena puso atau gagal panen akibat salura irigasi rusak dan sawah tidak teraliri air," paparnya.
Nelayan juga tidak lagi bisa menyandarkan perahunya di tepi Pantai Watu Pecak akibat pendangkalan yang disebabkan penambangan pasir besar-besaran di kawasan pesisir selatan itu.
"Dengan kejadian yang menimpa Pak Salim Kancil, menjadikan tekad warga semakin kuat untuk menolak penambangan pasir di Pantai Watu Pecak, sehingga Pak Salim pantas disebut sebagai pahlawan di desa kami," ujarnya.
Sementara itu, aparat Kepolisian terus bergerak untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan dan penganiayaan petani antitambang itu hingga menetapkan 22 orang sebagai tersangka dalam tragedi di Desa Selok Awar-Awar itu.
Kemungkinan jumlah tersangka bisa bertambah lagi dan penyidik masih melakukan pengembangan penyidikan dan penyelidikan di lapangan atas kasus penganiayaan berat yang dilakukan massa kepada dua warga Desa Selok Awar-Awar tersebut.
(updated 06.53 WIB 1/10)
Oleh Zumrotun Solichah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015