"Kereta cepat ini tidak menggunakan anggaran pemerintah, tidak menggunakan jaminan pemerintah," ujar Rini ketika ditemui di kompleks Istana Negara, Jakarta, Selasa.
Rini menjelaskan bahwa memang dari dua proposal yang diterima, pihak Jepang meminta adanya jaminan dan pembayaran melalui pemerintah sehingga menggunakan APBN.
"Sekarang pemerintah mengatakan ini harus B to B (kerja sama bisnis), itu jalurnya konsorsium. BUMN melihat secara kalkulasi siapa yang bisa melakukan investasi. Apakah bisa dilakukan atau tidak," ujar Rini.
Selain Jepang, Tiongkok juga mengajukan proposal untuk proyek kereta cepat ini.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menyatakan bahwa kereta cepat bukan program atau proyek pemerintah dan pengerjaannya sudah sepenuhnya dilimpahkan ke BUMN (Badan Umum Milik Negara).
Menurut Teten pembangunan kereta cepat ini membutuhkan kajian komersil yang nantinya akan dikerjakan BUMN Indonesia maupun BUMN luar negeri.
Selain itu, pembangunan kereta cepat ini tidak akan membutuhkan Perpres.
"Pemerintah Jepang yang biasanya ikut menggunakan skema G to G (kerja sama antarpemerintah), karena sudah menjadi B to B Jepang tidak ikutan," ujar Teten pada kesempatan berbeda.
Teten menambahkan bahwa selama ini Jepang banyak proyeknya di Indonesia seperti proyek MRT.
Pewarta: Ageng Wibowo
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015