Akibatnya, tak sedikit yang tersingkir dari kehidupan sosialnya, menurut Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), Bagus Utomo.
"Stigma negatif di masyarakat misalnya, menjadi penyebab orang dengan skizofrenia (ODS) tersingkir dari kehidupan sosial dan menghambat mereka mendapatkan akses perawatan. Mereka juga sulit menikah dan bekerja," ujar Bagus di Jakarta, Senin.
Tak hanya tersingkir, penderita juga kerap alami kekerasan psikologis dan fisik, dari masyarakat dan bahkan tenaga kesehatan yang menanganinya.
"Adanya stigma dan diskriminasi terhadap gangguan jiwa termasuk ODS menyebabkan mereka menjadi sasaran kekerasan psikologis dan fisik yang dilakukan tenaga medis dan masyarakat. Ini karena ketidaktahuan saja kalau ODS bisa diobati," ungkap dia.
Kondisi ini, lanjut dia, diperparah dengan kualitas pelayanan masih tergolong minim, khususnya di daerah-daerah. "Kualitas pelayanan ODS minim. Rata-rata di daerah, penderita harus dibawa ke RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) yang akses geografisnya sulit. Lalu, proses pelayanan yang panjang dan obat yang kosong di apotik," kata Bagus.
"Di beberapa daerah ongkos ke RSUD bahkan bisa menghabiskan ongkos ratusan ribu Rupiah," tambah dia.
Masalah lainnya, kata Bagus, ialah keterbatasan jumlah tenaga medis untuk melayani pasien skizofrenia.
Menanggapi hal ini, Direktur Bina Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan, Dr. Eka Viora, SpKJ, mengakui, khusus pelayanan kesehatan jiwa saat ini hanya fokus di layanan tersier, bukan primer.
"Hanya di rumah sakit di ibu kota provinsi saja. Sementara ODS ada juga di daerah-daerah," tutur dia dalam kesempatan yang sama.
Kemudian, dia juga tak menampik terbatasnya tenaga kesehatan yang kompeten menangani penderita skizofrenia. Data memperlihatkan, saat ini spesialis kedokteran jiwa di Indonesia hanya 720 orang saja, atau 1:500.000 penduduk Indonesia.
Kendati begitu, menurut Eka, pemerintah telah berkomitmen meningkatkan perhatian terhadap orang dengan gangguan jiwa. Terbukti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Kesehatan Jiwa No 18 tahun 2014, yang intinya menyerukan masyarakat harus memperlakukan penderita gangguan secara manusiawi.
Hal ini termasuk, menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi orang dengan gangguan jiwa, termasuk ODS.
"Negara bertanggung jawab. Dengan UU Keswa ini, diharapkan penanganan gangguan kejiwaan, khususnya ODS bisa lebih komprehensif dan terintegrasi mulai dari edukasi, terapi dan dukungan psikologis," kata dia.
"Upaya Kesehatan jiwa dilaksanakan terintegrasi di semua tingkat layanan kesehatan. Upaya pengadaan obat-obatan juga akan lebih menyeluruh dan menjangkau ke daerah-daerah pelosok," pungkas Eka.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015