Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan kelompok bank-bank berdampak sistemik akan dievaluasi secara berkala dan diawasi khusus agar imbas negatif dari krisis ekonomi tidak menyebar dan dapat diantisipasi.
"Daftar kelompok bank berdampak sistemik bisa berubah, yang penting penetapannya harus dalam kondisi normal. Tidak boleh ada tambahan bank dalam masa krisis," kata Menkeu Bambang Brodjonegoro dalam rapat membahas Rancangan UU Jaring Pegaman Sistem Keuangan (JPSK) dengan Dewan Perwakilan Daerah di Jakarta, Senin.
Penetapan kelompok bank berdampak sistemik (systemically important bank/SIB) akan diatur dalam Undang-undang JPSK. Kriteria bank SIB tersebut berada di bawah ranah Otoritas Jasa Keuangan.
Sesuai ketentuan RUU JPSK, pemerintah akan membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) beranggotakan Menteri Keuangan sebagai koordinator, Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai anggota, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai anggota.
Bambang mengatakan penetapan kelompok bank SIB dilakukan KSSK dalam kondisi perekonomian normal, atau tidak dalam masa krisis. Setelah ditetapkan, kelompok bank tersebut akan dikenakan syarat kesehatan perbankan yang lebih tinggi dibanding bank lainnya.
Misalnya, dari segi rasio kecukupan modal (capital adequancy ratio/CAR), bank SIB harus memiliki rasio yang lebih tinggi. Besaran iuran yang akan dibebankan kepada bank SIB juga, kata dia akan lebih besar dibanding bank lain.
"Kami akan terapkan pengawasan khusus karena kami tidak ingin bank SIB ini hancur. Katakan ada satu SIB kesulitan, maka tugas KSSK jaga agar bank ini tidak hancur, bisa dengan pinjaman jangka pendek, atau pinjaman likuiditas khusus. dan selanjutnya bisa masuk ke bantuan lainnya," ujarnya.
Bambang mengatakan bank yang masuk dalam kategori SIB ini merupakan bank yang memiliki aset dan modal besar. Bank SIB ini juga memiliki keterkaitan dengan kesehatan pelaku industri jasa keuangan lainnya.
OJK, menurut dia, akan mengawasi intensif bank SIB tersebut. Aset yang dimiliki bank SIB harus jauh lebih besar dari kewajiban yang harus dibayarkan.
Dalam RUU JPSK disebutkan bank SIB harus menerapkan rencana pemulihan yang telah disusun dan disetujui OJK untuk mengatasi masalah keuangan yang dialami bank tersebut.
Jika langkah pemulihan tersebut tidak dapat mengatasi masalah likuiditas dan solvabilitas bank SIB, maka akan diambil langkah penanganan permasalahan bank oleh KSSK, dalam hal ini LPS.
"Misalnya dengan bantuan likuiditas jangka pendek, atau selanjutnya ada pinjaman likuiditas khusus," ujarnya.
Jika penanganan masih belum membuahkan hasil, terdapat juga opsi bank perantara (bridge bank) untuk pengalihan sebagian atau seluruh aset bank SIB kepada bank baru.
"Jika KSSK atau dalam hal ini LPS mengalami kesulitan likuiditas untuk menangani bank SIB, pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS," ujarnya.
Bambang menambahkan, jika bank SIB yang mengalami masalah lebih dari satu bank, maka KSSK akan mengaktifkan Badan Restrukrisasi Perbankan.
Keputusan dalam KSSK diambil secara mufakat. Dengan begitu, empat anggota akan melakukan langkah-langkah penanganan yang disetujui KSSK.
Bambang menargetkan pembahasan RUU JPSK ini dapat selesai dan disahkan pada akhir Oktober 2015.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015