Guru Besar Universitas Indonesia tersebut dalam seminar di Palembang, Sabtu, mengatakan penundaan MEA tidak akan membuat Indonesia terkena sanksi internasional meski sudah sepakat bersama 9 negara lainnya sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-2 tahun 1997.
"Terjadi perubahan mendasar dalam negeri setelah penetapan tahun 1997. Negara menghadapi beberapa krisis. Meski berhasil melewatinya tapi terjadi perubahan yang signifikan, sehingga suatu yang diperbolehkan jika Indonesia meminta menunda," kata Hikmahanto Juwana dalam seminar bertema "Peluang dan Tantangan Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015" oleh Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.
Ia mengemukakan, Indonesia memiliki alasan yang kuat jika ingin menunda karena pada saat diputuskan dalam kondisi sangat percaya diri dengan kondisi perekonomian dalam dua dekade.
"Bahkan, ketika dimajukan dari 2020 menjadi 2015, sama sekali tidak mengoyahkan kepercayaan diri Indonesia. Padahal setelah berlalu, situasinya sangat berbeda," kata dia.
Ia menjelaskan, terdapat beberapa indikator dan parameter yang bisa dijadikan landasan untuk menilai kesiapan menghadapi MEA, di antaranya, kedalaman informasi terkait MEA di masyarakat, kesiapan pelaku usaha bersaing dengan pengusaha luar negeri, penetrasi produk di pasar ASEAN, implementasi kebijakan di tingkat pusat hingga ke daerah, dan adanya jaminan tidak ada uji materi di Mahkamah Konstitusi.
"Berdasarkan indikator ini, sebenarnya Indonesia belum siap. Saya sebagai akademisi harus mengatakan yang sebenarnya, dan menganjurkan ke pemerintah untuk menunda saja, dengan catatan selama masa lima tahun ini fokus untuk menyiapkan diri," kata dia.
Ia pun menilai kondisi ini sudah disadari pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla sehingga saat ini berada di antara dua pilihan sulit yakni memilih berkomitmen dengan terseok-seok menghadapi MEA atau menunda hingga 2020.
"Ini bukan lagi masalah solidaritas sebagai anggota ASEAN, tapi urusan kepentingan nasional. Jika, merasa dirugikan, lantas mengapa Indonesia harus memaksakan diri," ujar dia.
Menurut dia, pemerintah harus mempertimbangkan bahwa saat MEA diberlakukan maka pasar ASEAN menjadi pasar tunggal, sementara dari 660 juta penduduk di kawasan tersebut diketahui bahwa separuhnya adalah penduduk Indonesia.
"Jadi negara lain seperti Amerika Serikat, India, dan Tiongkok, melihat MEA ini bukan pasar ASEAN tapi pasarnya Indonesia. Lantas pertanyaannya, sudah siapkan pemerintah mengendalikan pasar ini ?," kata dia.
Masyarakat Ekonomi ASEAN akan resmi diberlakukan 1 Januari 2016 dengan ditandai pembebasan bea masuk barang dan jasa ke setiap negara ASEAN atau hanya maksimal 5 persen.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015