Ada kabar menarik dari dunia pendidikan di Tanah Air. Kabar itu bersangkut-paut dengan metode baru dalam menilai guru yang dilakukan oleh peserta didik dan orang tua.
Seperti dikemukakan seorang pejabat di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, penilaian terhadap kinerja guru di kelas mulai 2016 tidak hanya dilakukan oleh kepala sekolah dan pengawas dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, tapi juga melibatkan peserta didik dan orang tua, yang merepresentasikan komite sekolah.
Reformasi dalam penilaian kinerja guru ini tentu akan mengubah banyak hal, terutama yang menyangkut guru itu sendiri. Dengan memberikan hak menilai pada siswa dan orang tua, implementasi pendidikan di ruang kelas akan berorientasi pada kepentingan siswa.
Pembaruan penilaian ini tentu sudah menjadi hal yang lumrah dalam ranah kehidupan yang lain, seperti di dunia bisnis atau politik. Konsumen, dalam dunia bisnis, adalah raja. Rakyat, yang menentukan terpilihnya seorang pemimpin politik, punya suara yang dipadankan dengan suara Tuhan. Vox populi vox dei.
Tampaknya, dengan pembaruan penilaian terhadap guru tersebut, dunia pendidikan akan mengambil sisi positif dari praksis di dunia bisnis dan politik itu.
Tentu banyak hal yang harus diatur dalam penerapan kebijakan metode penilaian terhadap guru tersebut, karena hal ini merupakan sesuatu yang baru. Hal paling esensial dalam metode menilai guru oleh siswa dan orang tua adalah soal kerahasiaan si penilai yang harus dijaga.
Seperti yang lazim dilakukan dalam jajak pendapat, terutama mengenai isu yang sensitif, bahwa nama responden tak perlu dicantumkan. Nama siswa dan orang tua yang menilai guru mereka harus dihilangkan di lembar penilaian.
Pentingnya pengosongan nama penilai bukan saja untuk menghindarkan balas dendam oleh guru yang dinilai sangat buruk oleh siswa dan orang tua. Hal itu juga penting untuk menghindarkan tabiat suka memuja-muja dari beberapa siswa dan orang tua yang berniat mendapat imbalan penilaian balik yang menguntungkan.
Barangkali untuk tahap pertama, terutama untuk tingkat siswa sekolah dasar, sistem penilaian itu dibuat sedemikian sederhana seperti penilaian dalam bentuk daftar pertanyaan yang jawabannya tersedia dan siswa tinggal memilih salah satu dari jawaban itu.
Selama ini guru dinilai oleh kepala sekolah dan pengawas dalam segi-segi yang bisa dilihat antara lain dari data-data tertulis seperti tingkat kehadirannya di ruang kelas. Guru juga bisa dinilai lewat hasil uji kompetensi mereka yang sebagian besar juga berdasarkan kinerja ujian tertulis.
Untuk penilaian yang dilakukan oleh siswa dan orang tua, objek penilaian selayaknya berfokus pada kinerja implementatif di ruang kelas. Anak lah yang paling objektif dalam menilai kinerja guru. Orang tua biasanya mendapat infromasi dari siswa tentang kinerja sang guru.
Pertanyaan yang bisa dijadikan bahan penilaian terhadap guru oleh siswa dan orang tua adalah ihwal rajin tidaknya guru mengembalikan hasil ujian sekaligus memberikan nilainya. Ihwal temperamen guru dalam wujud suka marah atau tidak di kelas juga bisa dijadikan poin penilaian. Ihwal kepedulian guru terhadap siswa yang memiliki daya tangkap yang rendah penting juga untuk dinilai.
Dari sisi guru, dalam menghadapi reformasi penilaian ini, sikap yang perlu dikembangkan adalah kesediaan untuk berlapang dada dalam menerima penilaian. Guru tak perlu reaksioner dalam menyikapi penilaian siswa dan orang tua. Guru yang mendapat penilaian rendah dari siswa atas poin-poin yang dinilai juga tak perlu serta-merta diberi hukuman oleh kepala sekolah.
Yang harus ditekankan dalam metode penilaian ini adalah: pentingnya perubahan sikap dari guru. Guru perlu membenahi sikap dan tindakannya yang kurang memuaskan siswa dan orang tua. Jika guru itu tak pernah atau jarang mengembalikan hasil ujian siswa, sikap dan tindakan itu harus diubah setelah sikap buruk itu terungkap dalam evaluasi oleh siswa dan orang tua.
Siapa yang menentukan hasil dari penilaian terhadap guru oleh siswa dan orang tua? Tentu kepala sekolah dan pengawas. Dua pihak inilah yang memberikan kata putus atas penilaian yang dilakukan oleh siswa dan guru. Artinya, kepala sekolah yang adil dalam menilai pada akhirnya yang menjadi pusat kemajuan institusi sekolah.
Tentu kepala sekolah masih perlu mengajak pihak lain semacam dewan guru untuk mempertimbangkan sanksi apa yang diberikan kepada guru yang mendapat penilaian buruk berkali-kali dari siswa dan orang tua tanpa melakukan perbaikan sikap dan perilaku dalam mengajar di kelas.
Sebaiknya, tujuan sistem penilaian baru terhadap guru ini berfokus pada pemberian insentif. Artinya, guru yang mendapat penilaian buruk dari siswa dan orang tua tidak perlu dihukum dalam bentuk penurunan golongan atau jabatan. Tapi, guru yang mendapat penilaian bagus dari siswa dan orang tua layak diberi insentif dalam bentuk entah kenaikan pangkat atau tambahan uang tunjangan.
Dengan pola penilaian yang berfokus pada pemberian insentif dan bukan pada penghukuman terhadap guru, sistem penilaian baru terhadap guru itu justru bisa berfungsi untuk memacu kinerja guru, bukan membuat guru frustasi, khususnya guru yang berkinerja buruk di mata siswa dan orang tua.
Oleh M sunyoto
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2015