"Seharusnya kretek tradisional tidak masuk dalam RUU Kebudayaan. Meskipun tradisi Indonesia, tetapi kretek dapat mengakibatkan dampak negatif bagi generasi bangsa," kata Abdul Kharis Masyhari melalui siaran pers diterima di Jakarta, Jumat.
Wakil Ketua Komisi X DPR itu mengatakan masyarakat harus berperan aktif dalam mengkritisi setiap kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah maupun DPR.
Karena itu, dia mengajak masyarakat untuk mengkaji dan memperdalam dampak yang mungkin terjadi bila pasal tentang kretek dicantumkan dalam RUU Kebudayaan.
"Kalau seperti itu akan berbahaya. Nanti juga bisa ada yang meminta ganja dan tuak dimasukkan dalam RUU Kebudayaan dengan alasan warisan tradisi," tuturnya.
Menurut Kharis, harus diakui kretek merupakan salah satu tradisi karena hanya ada di Indonesia. Campuran tembakau dan beberapa herbal seperti cengkeh yang dibakar dan dihisap sebagai rokok memang merupakan peninggalan tradisi bangsa.
Namun, di beberapa bagian masyarakat Indonesia, penggunaan ganja dan tuak juga bagian dari tradisi. Ada masyarakat yang menggunakan daun ganja sebagai bumbu masakan dan ada pula yang meminum tuak.
"Tradisi yang membawa dampak negatif bagi generasi bangsa seharusnya tidak dipertahankan. Kita tidak ingin pelajar yang merupakan generasi penerus bangsa ini rusak akibat kebiasaan merokok," katanya.
Apalagi, berdasarkan data survei tembakau remaja global (GYTS) 2014 yang dilakukan pada pelajar SMP usia 13 tahun hingga 15 tahun, 18,3 persen pelajar Indonesia sudah memiliki kebiasaan merokok.
"Bisa dibayangkan juga ada undang-undang yang memfasilitasi perkembangan kretek yang akan menambah jumlah perokok di kalangan pelajar," ujarnya.
Menurut Kharis, pemerintah dan DPR seharusnya mendorong dan melindungi tradisi-tradisi nasional yang membawa dampak positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan yang memberikan dampak negatif.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015