"Dengan kondisi rupiah yang tertekan seperti saat ini, harus pandai-pandai menjaga nilai tukar valuta asing," kata Rini saat peresmian "CFO BUMN Forum: Sinergi Bagi Ekonomi Negeri", di Gedung Pertamina, Jakarta, Selasa.
Menurut Rini, dirinya mendorong BUMN besar terutama yang membutuhkan dolar dalam jumlah besar untuk operasionalnya melakukan hedging internal, seperti PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero) dan termasuk PT Garuda Indonesia Tbk.
"Saya lebih senang kalau mereka melanjutkan program kebijakan internal hedging, sehingga dapat mengamankan diri ketika valas mengalami gejolak," ujar Rini.
Di depan sekitar 100 direktur keuangan Menurutnya, Pertamina dan PLN dua BUMN yang menggunakan devisa terbesar diantara seluruh perusahana milik negara.
Pertamina membutuhkan valas sekitar 60-80 juta dolar AS per hari, sedangkan PLN membutuhkan sekitar 20 juta dolar AS per hari.
"BBM kita ada yang impor, PLN juga butuh dolar untuk operasional pembangkit," ujarnya.
Untuk itu tambah Rini, ke depan kedua perusahaan ini diharapkan menjadi penyumbang devisa terbesar. "Jangan (Pertamina dan PLN) itu pengguna devisa, tapi ke depan harus menjadi penyumbang devisa bagi negara," kata Rini.
Selain Pertamina, PLN dan Garuda, BUMN lain yang berorientasi ekspor juga menjadi prioritas untuk dapat menghasilkan devisa yang lebih besar terhadap negara.
"PT Perkebunan Negara (PTPN) harus mampu meningkatkan ekspor tidak lagi CPO tetapi harus dalam barang jadi ke luar negeri. Telkom melalui anak usahanya Telkomsel menjual kartu telepon di luar negeri, dan lainnya," tegas Rini.
Untuk itu dijelaskan Rini, para CFO BUMN harus mampu memanfaatkan peluang dengan melakukan sinergi antar perusahaan milik negara.
"Komunikasi sesama BUMN terutama ketika membeli dolar harus terus dijalin, sehingga tidak menggoncang pasar," ujarnya.
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015