Nanning (ANTARA News) - Kepesertaan Indonesia dalam China-ASEAN Expo (CAEXPO) di Nanning, Guangxi, Tiongkok, kali ini disertai dengan semangat untuk menyeimbangkan perdagangan Indonesia dengan Tiongkok meski ada pelemahan ekonomi global.
Neraca perdagangan kedua negara itu memang timpang, di mana Indonesia berada pada posisi defisit yang besar.
Data Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebutkan pada 2014 defisit itu tercatat 13,0 miliar dolar AS. Sedangkan pada Januari-Juni 2015 sudah mencapai delapan miliar dolar AS.
Padahal pertumbuhan perdagangan Indonesia dan Tiongkok dalam periode 2010 - 2014 meningkat rata-rata 6,65 persen. Total perdagangan 2014 sebesar 48,2 miliar dolar AS, atau turun 8,05 persen dibandingkan 2013 yang sebesar 52,4 miliar dolar AS.
Sementara kedua negara sepakat untuk merealisasikan target perdagangan bilateral sebesar 150 miliar dolar AS pada 2020.
Karena itu segala upaya harus dilaksanakan Kemendag agar tercipta keseimbangan dalam perdagangan kedua negara itu.
Selain melakukan kajian bagaimana cara meningkatkan penetrasi produk ekspor di Tiongkok, Kemendag juga mengingatkan Tiongkok tentang adanya komitmen negara itu untuk merealisasikan target perdagangan bilateral.
Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kemendag Nus Nuzulia Ishak mengatakan pihaknya akan terus mempromosikan produk ekspor nasional di provinsi-provinsi seluruh Tiongkok antara lain dengan pembentukan trading house di Shanghai dan Nanning.
Selain itu, mengupayakan pengurangan hambatan tarif dan nontarif dari Tiongkok untuk produk ekspor Indonesia, utamanya batu bara, bahan kimia, minyak sawit dan turunannya, produk kayu dan kertas serta tekstil dan produk tekstil.
Juga diupayakan peningkatan jumlah misi pembelian Tiongkok ke Indonesia, dan mempermudah penyesuaian standar industri dan sanitasi produk unggulan Indonesia ke pasar Tiongkok melalui "mutual recognition agreement" (MRA).
"Di tengah kondisi pertumbuhan ekonomi dunia serta nasional yang melemah seperti sekarang ini, strategi mendorong ekspor masih diyakini sebagai salah satu strategi tepat untuk membantu mendorong pertumbuhan ekokomi nasional," katanya.
Berkaitan dengan devaluasi mata uang Tiongkok, yuan, ia mengharapkan agar hal itu mampu dimanfaatkan oleh pelaku usaha nasional untuk mendorong ekspor, khususnya untuk produk dengan kandungan lokal yang tinggi seperti produk pertanian, perikanan dan perkebunan.
Dirjen juga mengatakan bahwa terdapat komitmen tingkat tinggi pada saat Presiden Joko Widodo bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jian Ping dalam Konferensi Asia Afrika di Jakarta pada Mei 2015.
Kedua pemimpin negara sepakat untuk merealisasikan target perdagangan bilateral sebesar 150 miliar dolar AS pada 2020.
Demikian juga hasil kunjungan Presiden RI ke Beijing pada Maret 2015 membuahkan komitmen bahwa pemerintah Tiongkok akan mendorong pengusahanya untuk melakukan lebih banyak impor dari Indonesia serta mendukung pengusaha Indonesia dalam melakukan promosi dagang di Tiongkok.
Selain itu, adanya komitmen Tiongkok dengan negara ASEAN melalui ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Itu merupakan kesempatan yang baik bagi peningkatan perdagangan Indonesia-Tiongkok.
ACFTA merupakan kesepakatan antara negara ASEAN dengan China untuk mewujudkan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan perdagangan baik tarif maupun non-tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerja sama ekonomi.
Bernilai tambah
Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas T Lembong mengatakan produk ekspor ke Tiongkok harus yang bernilai tambah dan memiliki daya saing guna menyeimbangkan perdagangan kedua negara.
"Kita harus memikirkan kembali dengan betul apa yang harus kita ekspor untuk menyeimbangkan perdagangan kedua negara," katanya.
Mendag Thomas mengatakan perdagangan Indonesia dengan Tiongkok paling besar dengan Indonesia berada pada posisi defisit yang besar. Sementara perdagangan kedua negara akan meningkat.
Untuk itu, katanya, perlu dipikirkan kembali dengan benar produk apa yang harus Indonesia ekspor guna menyeimbangkan perdagangan kedua negara.
Dikatakannya bahwa tidak masalah jika produk itu adalah komoditas. Yang penting produk itu bernilai tambah.
Selain itu, produk yang harus diekspor adalah produk yang istimewa, berdaya saing dan memiliki keunikan. Ia mencontohkan produk perhiasan dan kain-kain daerah yang eksotis.
Berkaitan dengan itu, Indonesia akan meresmikan pendirian Jakarta Regional Design Center (JRDC) pada awal Oktober tahun ini
"Kita akan dirikan Jakarta Regional Design Centre pada Oktober awal tahun ini," kata Nus Nuzulia Ishak.
Menurut dia, disain akan menentukan daya saing sebuah produk. Ia mencontohkan, misalnya sutera yang didatangkan dari Tiongkok dengan harga Rp50.000, maka setelah dirancang khusus di Indonesia harganya bisa menjadi Rp1 juta.
Pendirian pusat disain ini merupakan bagian dari strategi Kemendag dalam memberi nilai tambah bagi produk nasional, khususnya yang diekspor ke Tiongkok.
Oleh Ahmad Buchori
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015