Saat membuka temu pakar yang dihadiri sekitar 30 orang pakar dan tokoh itu, Pimpinan Badan Pengkajian MPR, Martin Hutabarat, mengutip dua persoalan ketatanegaraan seperti yang pernah diungkapkan Megawati Soekarnoputri.
Pertama, pada 14 Agustus 2015, Presiden Joko Widodo berpidato tiga kali di Parlemen. "Mengapa harus tiga kali, padahal orangnya sama," kata Hutabarat, melalui siaran pers MPR.
Kedua, Megawati juga mengungkapkan pentingnya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Hal ini diamini Hutabarat, karena sangat penting untuk menjadi arah pembangunan 25 tahun atau 50 tahun ke depan.
"Sekarang bicara tol laut, kemudian poros maritim. Tapi Presiden yang akan datang berbeda lagi. Berapa investasi yang sudah keluar. Pembangunan tidak bisa diserahkan pada visi misi Presiden," kata dia.
Dari persoalan itu, lanjut Martin, sistem ketatanegaraan Indonesia perlu diperbaiki. "Kita harus menata lembaga-lembaga negara agar berjalan sesuai fungsinya. Dulu ada sistem lima tahunan, lembaga-lembaga negara bisa berjalan sesuai mekanisme," jelasnya.
Dengan temu pakar ini, ia berharap dapat melahirkan sebuah sistem agar lembaga-lembaga negara bisa berjalan sesuai sistem ketatanegaraan yang dibentuk atas kepentingan rakyat.
Para pakar yang hadir di antaranya Prof Nanat Fatah (mantan Rektor UIN), Prof Nina Lubis, Prof Ganjar Kurnia (mantan Rektor Unpad), Prof Haryo Natodirjo, dan kalangan organisasi masyarakat (Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama), serta tokoh Front Pembela Islam.
Temu pakar ini juga disupervisi anggota MPR yaitu Hutabarat, Shodiq Mujahid (F Gerindra), Achmad Zaky Sirad (F Golkar), dan Yanuar Prihatin (F PKB).
Pewarta: Try Essra
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015