Jakarta (ANTARA News) - Pelemahan kurs mata uang di Asia, termasuk Indonesia, setelah devaluasi yuan oleh Tiongkok disebabkan hubungan perdagangan negara-negara tersebut dengan Tiongkok, kata Ekonom Senior ASEAN dan India Bank Investasi UBS Edward Teather.
"10 persen penurunan yuan atas dolar AS berdampak signifikan kepada pasar mata uang Asia karena terdapat perubahan pada mata uang nasional dengan Tiongkok sebagai mitra dagang," ujar dia dalam telekonferensi di Jakarta, Kamis.
Pada dasarnya, tutur Teather, nilai tukar negara yang terpengaruh nilai tukar mitra dagang menunjukkan hasil dalam margin negara pengekspor karena nilai tukar negara pengekpor menurun dan meningkatkan daya beli dalam negeri.
Dalam jangka panjang, menurut dia, harga, volume ekspor dan impor serta upah juga akan merespon perubahan nilai tukar mata uang.
Selain terpengaruh oleh hubungan dagang dengan Tiongkok, Teather menuturkan mata uang negara-negara Asia juga terpengaruh "capital flows".
Untuk menangani hal tersebut, Teather mengatakan pemerintah Indonesia telah membuat kebijakan untuk mengangkat kembali nilai rupiah dengan memancing "inflow".
"Contohnya langkah yang diumumkan BI terkait SBI untuk menstimulasi capital inflow. Selain itu juga pembatasan pembelian dolar," tutur dia.
Ia memperkirakan asumsi kebijakan yang ada di Asia dalam mengatasi hal tersebut adalah menghindari kebijakan yang menyebabkan kurs menurun serta melonggarkan kebijakan dalam sektor-sektor yang rentan terdampak kondisi ekonomi global.
Bank sentral Tiongkok, Peoples Bank of China (PBoC), mereformasi sistem pembentukan nilai tukar pada 11 Agustus menjadi lebih mencerminkan perkembangan pasar dalam nilai tukar yuan Tiongkok terhadap dolar AS.
Rupiah, ringgit, rupe dan dolar Taiwan jatuh sebanyak penurunan yuan terhadap dolar AS.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015