Jakarta (ANTARA News) - Sepanjang Minggu (13/9), warga Dumai, Riau tidak bisa lagi menikmati suasana libur dengan berjalan-jalan ke luar rumah bersama keluarga seperti hari Minggu sebelumnya.
Mereka benar-benar tercekam dengan asap tebal yang memayungi lingkungan rumahnya hingga tidak mungkin bisa bersenang-senang karena khawatir ancaman Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) terus mengintai terutama para balita.
"Kabut asap makin tebal dan kita tidak bisa lagi membawa anak ke luar ruangan untuk bermain karena udara sangat tidak sehat," kata Eli, ibu rumah tanga.
Bahkan jarak pandang sendiri semakin terbatas hanya sekitar 100 meter, yang tentunya membahayakan bagi mereka pengguna kendaraan. Terlebih lagi jerebu itu membuat mata menjadi perih dan sesak nafas.
"Kalau berlama di luar ruangan mata jadi perih dan sesak nafas karena asapnya sangat tebal, apalagi tidak memakai masker bisa langsung sakit," kata salah seorang warga Dila.
Semakin tebalnya asap dari kebakaran hutan itu, Kepala Dinas Kesehatan Riau, Andra Sjafril meminta warga untuk menghindari beraktivitas di luar ruangan dan kalau terpaksa juga harus menggunakan masker.
"Kami meminta warga untuk menghindari aktivitas di luar ruangan, dan apabila terpaksa, harus menggunakan masker yang pada kondisi pekat seperti ini yang cocok adalah jenis N95," katanya.
Dinas Kesehatan Provinsi Riau mencatat jumlah warga yang sakit terus bertambah hingga mencapai 25.524 orang akibat asap kebakaran lahan dan hutan yang mengakibatkan polusi mencapai tingkat berbahaya.
Sebanyak 20.901 orang diantaranya menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).
Angka penderita itu akumulasi dari tanggal 29 Juni hingga 12 September 2015. Kemudian warga yang menderita pneumonia sebanyak 454 orang, asma 893 orang, iritasi mata 1.356 orang dan iritasi kulit 1.920 orang.
Pihak dinas setempat mencatat jumlah penderita ISPA tersebar di 12 kabupaten/kota dan paling banyak berada di Kota Pekanbaru, yakni mencapai 3.548 orang. Kemudian penderita ISPA juga banyak terdapat di Kabupaten seperti Kuantan Singingi ada 2.831 orang, Siak 2.576 orang, Kota Dumai 2.503 orang, dan Rokan Hulu 2.227 orang.
Jerebu sampai Malaysia dan Singapura
Jerebu atau asap dalam Bahasa Melayu itu, memang sudah luar biasa yang tidak hanya mengoyak sebagian Tanah Andalas namun juga tembus ke Malaysia dan Singapura.
Sampai aktivitas Bandara T Cut Ali di Kabupaten Aceh Selatan juga, sempat terganggu akibat kebakaran hutan tersebut.
Kantor Gubernur Riau di Jalan Jenderal Sudirman Kota Pekanbaru pada Rabu (2/9) pagi hingga pukul 14.00 WIB nyaris "hilang" diselimuti kabut asap pekat dampak dari kebakaran lahan dan hutan.
Bahkan pengelola Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II mengungkapkan 58 dari total 76 penerbangan menuju dan dari Pekanbaru, pada Rabu (16/9), terpaksa dibatalkan karena terganggu pencemaran asap pekat kebakaran lahan dan hutan di Sumatera.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru menyatakan kabut asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan menyebabkan jarak pandang di ibu kota Provinsi Riau tersebut hanya sekitar 100 meter.
BMKG Stasiun Pekanbaru hari ini atau Rabu (19/8) sempat mendeteksi sebanyak 672 titik panas yang tersebar di sembilan provinsi di Pulau Sumatera.
"Satelit Terra dan Aqua pada hari ini pada pukul 05.00 WIB mendeteksi 672 titik panas di Sumatera. Jambi dan Sumsel merupakan penyumbang titik panas terbanyak dengan masing-masing 22 dan 302 titik panas," kata Kepala BMKG Stasiun Pekanbaru, Sugarin.
Tujuh provinsi penyumbang titik panas lain adalah Lampung 26 titik panas, Bengkulu tujuh titik panas, Kepulauan Riau satu titik panas, Sumatera Utara tiga titik panas, Bangka Belitung 26 titik panas, dan Sumatera Barat empat titik panas.
Sementara itu ia mengatakan di Provinsi Riau sendiri terdeteksi sebanyak 84 titik panas yang menyebar delapan kabupaten.
"Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Pelalawan merupakan daerah dengan jumlah titik panas terbanyak dengan 38 dan 14 titik panas," jelasnya.
Selanjutnya Kabupaten Indragiri Hilir terdeteksi 11 titik panas, Kabupaten Kampar 8 titik panas, Kabupaten Kuantan Singingi 7 titik panas, Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Siak masing-masing 2 serta 1 titik panas.
Dari 84 jumlah titik panas terpantau di Riau, Sugarin mengatakan, separuh diantaranya dapat dipastikan merupakan titik api dengan tingkat kepercayaan diatas 70 persen.
"Ada 49 titik api menyebar di tujuh kabupaten se-Riau, dimana Indragiri Hulu terpantau sebanyak 29 titik api," kata Sugarin.
Penerapan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk mengatasi asap kebakaran lahan dan hutan di Sumatera dan Kalimantan dengan hujan buatan terhambat minimnya potensi awan hujan.
"Sumatera Selatan potensi awan hujannya sangat sedikit, Riau baru mulai tumbuh awan tapi belum besar. Di Kalimatan awan juga tipis, terutama di bagian selatan Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur," kata Kepala UPT Hujan Buatan BPPT Heru F Widodo di Jakarta, Selasa.
Kondisi kering dan tidak ada hembusan angin, menurut dia, juga membuat awan dengan potensi hujan tidak terbentuk di wilayah-wilayah tersebut. Karena itu, TMC dengan menyemai garam untuk menurunkan hujan masih sulit dilakukan.
"Yang sudah berhasil turun hujan di Kalimantan Barat bagian utara. Kita sudah semai garam di awan dengan potensi hujan pada 25 Agustus dan setelahnya sudah mulai turun hujan," ujar dia.
Kondisi awan dengan potensi hujan saat ini, menurut dia, berfluktuatif. Dalam waktu lima hingga tujuh hari ke depan awan baru akan muncul lagi.
Pelestarian Gambut
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan kawasan hutan dan lahan gambut yang rusak akan sulit dan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali lestari.
"Kebakaran hutan dan lahan gambut akan sulit dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bisa hingga ribuan tahun untuk kembali pulih, itupun tidak mengembalikan ekosistem aslinya," kata peneliti Pusat Penelitian Biologi, Tukirin Partomiharjo.
Tukirin mengungkapkan hal tersebut dalam acara diskusi publik Hasil Penelitian LIPI Terkait Kebakaran Hutan: Kebijakan, Dampak dan Solusi yang dilaksanakan di Gedung LIPI, Jakarta, Kamis.
Tukirin menemukan bahwa dampak kebakaran berat seperti saat ini dapat mematikan hampir seluruh pepohonan penyusun hutan hingga mencapai lebih dari 80 persen.
"Untuk hutan rawa gambut umumnya akan mati secara keseluruhan, tidak ada pohon yang mampu bertahan pascakebakaran apalagi kebakaran berulang akan memusnahkan seluruh jenis pohon primer," ujarnya.
Beberapa waktu setelah kebakaran terjadi, sambung Tukirin, akan muncul jenis tumbuhan pionir dan sekunder seperti kelompok mahang (Macaranga spp.), anggrung (Vernonia arborea), tembalik angin (Croton sp) dan tumbuhan paku reasm (Pteridium sp. dan Gleichenia sp.).
Sedangkan pada habitat rawa gambut, pascakebakaran hanya ditumbuhi oleh jenis paku-pakuan seperti Nephrolepis spp, Blechnum spp dan Stenchlaena palustris.
"Tumbuhan tersebut bisa juga sebagai langkah awal untuk memulihkan hutan dan lahan gambut yang sebelumnya dilakukan pembasahan lahan, namun tetap akan butuh waktu yang sangat panjang untuk mengembalikan fungsinya karena tidak ada tumbuhan berbunga yang mampu bertahan dan tumbuh setelah kebakaran," tuturnya.
Kerugian kebakaran hutan dan lahan tidak hanya ekonomi, tambah dia, tapi juga kesehatan manusia, hilangnya keanekaragaman hayati dari tingkat ekosistem, jenis hingga genetik seperti mikroba dan satwa.
"Hal ini yang tidak pernah dipedulikan manusia, padahal kehidupan manusia tidak akan terlepas dari layanan keanekaragaman hayati. Dimana hutan merupakan pabrik oksigen dan sumber air yang tidak bisa tergantikan," katanya.
Tukirin menjelaskan satu pohon saat musim hujan bisa menampung 4.500 liter air per tahun dan 2000 liter air pada musim kemarau.
Terkait semakin banyaknya asap akibat pembakaran lahan dan hutan saat ini, ia menyebut hal itu karena ada campur tangan manusia dalam pembukaan lahan.
Asap timbul karena pembakaran tidak sempurna. Apalagi gambut yang basah di dalamnya ketika dibakar maka kebakaran terjadi di bawah permukaan gambut dan yang muncul adalah asap pekat dan sulit dipadamkan.
"Berbeda ketika semak-semak kering terbakar, api berkobar dan sedikit menghasilkan asap karena pembakarannya sempurna. Oleh karena itu pemerintah perlu berkomitmen dalam perencanaan pengelolaan hutan lestari, sosialisasi pada masyarakat dan penegakan hukum," katanya.
Oleh Riza Fahriza
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015