Bucaramanga, Colombia (ANTARA News) - Menurut catatan sejarah, penjelajah kelahiran Italia Christopher Colombus lah orang yang menemukan benua Amerika ketika memimpin armada kapal Spanyol pada 1492.
Kala itu, sang penjelajah melihat pesisir Venezuela, Kolombia dan Panama dan kemudian menamainya dengan namanya. Namun dia tidak pernah menginjakkan kaki di tanah Amerika Selatan tersebut.
Baru tahun 1499 penjelajahan pertama di Teluk Darien hingga Kolombia dilakukan oleh Alonso de Ojeda.
Walaupun telah separuh milenium ditemukan, masih banyak wilayah Kolombia yang belum terjelajahi dan diketahui oleh bangsanya sendiri.
Hingga akhir pekan lalu, sebuah film dokumenter berjudul "Colombia Magia Salvaje" (Colombia Wild Magic) menjabarkan keunikan dan keanekaragaman hayati negeri Kolombia yang bahkan mungkin belum diketahui oleh khalayak Kolombia sendiri.
"Kolombia telah mengalami masa-masa sulit. Banyak hal telah berubah dan kami ingin memperlihatkan bagaimana cantiknya negara ini," kata Mike Slee, sutradara film itu, seperti dikutip koran lokal ADN.
Butuh waktu kurang lebih lima tahun dan dana sekitar tiga juta dolar AS untuk memproduksi film dokumenter tersebut. Perusahaan ritel terbesar di Amerika Selatan Grupo Exito mensponsori pembuatannya.
Mike Slee, yang berasal dari Inggris, menjelajahi tidak kurang dari 85 lokasi dan 20 ekosistem di berbagai penjuru Kolombia untuk mengambil gambar 38 spesies yang menjadi tokoh protagonis dalam filmnya seperti burung condor, anaconda, jaguar, paus bungkuk, barakuda, hingga lumba-lumba merah jambu yang dianggap mitos di Sungai Amazon.
Selama masa produksi, yang dilakukan menggunakan teknologi pengambilan gambar termutakhir, kamera Mike merekam tidak kurang dari 150 jam gambar yang kemudian dirangkum menjadi film berdurasi 90 menit.
Hasilnya? Spektakuler.
Penonton dibawa menjelajahi bentang alam Kolombia mulai dari gunung es di Sierra Nevada de Santa Marta di bagian utara Kolombia, kemudian melihat keanggunan burung condor Andes, hingga menyusuri sungai-sungai Amazon di bagian selatan wilayah Kolombia.
Pembuat film juga membawa penonton ke kedalaman Lautan Pasifik, ke Pulau Malpelo, dan menjadi saksi kedatangan paus bungkuk dalam migrasi tahunannya di Teluk Utria.
Mata penonton juga dimanjakan dengan gambar-gambar bentang darat yang diambil dari udara, hingga gambar-gambar makro dari para tokoh protagonis.
Detail sayap kupu-kupu morpho biru sangat jelas tergambar di salah satu adegan film, demikian pula kemilau bulu burung kolibri yang warna warni.
Menggunakan teknologi pengambilan gambar terkini, Mike Slee menyuguhkan "tarian" burung kolibri dalam gerakan super lambat hingga para penikmat film bisa menyaksikan bagaimana burung pemakan madu tersebut menggerakkan sayap.
Dari gambar-gambar super dekat, mereka menyajikan bentang alam lain yang bisa membuat semua penonton menganga, Taman Nasional Chiribiquete, sebuah "dunia yang hilang".
Taman nasional seluas 2,7 juta hektare yang terisolasi di wilayah Amazon di bagian selatan Kolombia itu sangat jarang terjelajahi dan baru sedikit hal yang diketahui.
Film itu juga memperlihatkan sejumlah lukisan dinding buatan manusia prasejarah yang jika diketahui umurnya bisa menjadi acuan baru bagi sejarah kedatangan manusia di benua Amerika.
Dokumenter itu menyebutkan bahwa ada lebih dari 20.000 macam lukisan atau piktogram buatan manusia yang pernah tinggal di wilayah tersebut.
Walaupun berwujud film dokumenter, unsur humor tidak absen dalam film ini. Penonton dibuat tertawa dengan tampilan tingkah kukang yang tidur menggelantung di pohon, dan aksi burung endemik Kolombia menarik perhatian lawan jenis dengan memamerkan bulu ekor dan menggoyang-goyangkan pantatnya.
Film itu ingin menyampaikan pesan sederhana, agar manusia menyadari "harta karun" yang selama ini tersembunyi di sekitarnya dan turut menjaga kelestariannya.
"Sebelum membuat film ini, saya belum pernah mengunjungi Kolombia. Namun sekarang saya merasa sebagai warga negara kehormatan di Kolombia," kata Slee.
Proyek ambisius tersebut berusaha untuk mengungkap kekayaan yang tersembunyi di Amerika Selatan, khususnya Kolombia dengan bentang alam Kolombia yang unik serta keanekaragaman hayatinya.
"Bagi setiap produser film, Kolombia adalah 'permata mahkota' yang masih tersembunyi hingga sekarang," kata produser eksekutif "Colombia Magia Salvaje" Efe Francisco Forero seperti dikutip oleh FoxNews Latino.
Bahkan, setelah filmnya selesai, ada yang bertanya apakah gambar yang diambil benar-benar direkam di Kolombia, kata Forero.
"Bentang alam ini, telah lama tersembunyi bagi khalayak Kolombia," kata Forero.
Para kru film harus memutuskan menggunakan teknologi terbaik yang tepat untuk menangkap gambar bentang alam Kolombia dan mengabadikan satwa-satwa yang tinggal di dalamnya.
Selain itu, mereka harus mencari akses menuju ke tempat-tempat terpencil, melalui topografi yang beranekaragam.
Dan cuaca tropis menjadi tantangan tambahan karena cuaca Kolombia susah diprediksi sementara para kru film harus membawa peralatan-peralatan canggih dan berat untuk mengambil gambar.
Namun, kata Forero, bagian terberat dalam pembuatan film tersebut adalah "memilih cerita untuk negeri yang istimewa ini".
"Dengan keanekaragaman hayati Kolombia, akan masih ada cerita lainnya untuk diceritakan," kata dia.
Bisa dibilang setiap adegan dalam di film tersebut jika dicetak akan menjadi suatu foto yang indah.
Dengan dukungan musik latar racikan komponis asal Kanada, David Campbell, yang menggandeng sejumlah artis kenamaan Kolombia seperti Carlos Vives, Juanes, dan Fonseca, "Colombia Magia Salvaje" menjadi semacam hadiah terindah bagi setiap warga dan "penghuni" Kolombia.
"Kolombia layak dibuatkan film dokumenter dengan menggunakan teknologi film terbaik," kata Forero.
Kalau Christopher Colombus masih hidup dan menonton film tersebut, mungkin dia akan sangat menyesal tidak pernah menginjakkan kaki ke tanah kaya yang eksotis di Amerika Latin itu.
Pewarta: Aditya E.S. Wicaksono
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015