"Kini adalah saat tepat bagi pemerintah melakukan perubahan atas program listrik 35.000 MW, dimana program tersebut di dominasi pembangkit listrik menggunakan batubara di Pulau Jawa, yakni sebanyak 12.400 MW," ujar Pius Ginting dari Unit Kajian Walhi, dalam keterangan persnya, Rabu.
Menurut Pius, diluar Pulau Jawa banyak mengalami krisis listrik seperti Sumatera Utara dan Aceh kekurangan listrik sebanyak 9%. Tingkat permintaan pertumbuhan listrik selalu lebih tinggi di luar P. Jawa (diatas 10%) dibanding Pulau Jawa (7.5%).
"Prioritas pembangunan listrik seharusnya dilakukan diluar Pulau Jawa. Saat ini listrik Pulau Jawa telah memiliki cadangan sebesar 31% sehingga tidak terdapat alasan melakukan pemaksaan pembangunan listrik batubara di Pulau Jawa, seperti di Batang, Jawa Tengah demikian juga proyek listrik lainnya yang menggusur warga, seperti proyek Jati Gede," tuturnya.
Sementara itu, lanjut Pius, di sekitar daerah pembangkit batubara di Pulau Jawa masyarakat menderita dampak negatif dari kegiatan batubara, diantaranya penurunan produktivitas pertanian, hilangnya tangkapan nelayan, penurunan kualitas kesehatan.
"Mengembangkan energi terbarukan semakin tepat karena biaya lingkungan dan sosial dari energi fosil justru akan makin memperlambat ekonomi itu sendiri," kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan.
Ekonomi Indonesia telah memasuki periode melambat. Dari target pertumbuhan ekonomi 6%, yang terwujud hanya 4.1% hingga kini. Perlambatan ekonomi ini juga telah tercermin dalam konsumsi batubara Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Sebagai salah satu pemilik pembangkit listrik besar, PLN memperkirakan konsumsi batubara tahun 2015 sebanyak 61 juta ton dari target 91 juta ton (kurang dari 33%).
Abetnego menambahkan pemerintah sendiri telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2016 dari 5,8-6,2% menjadi 5,5 -6%. Target tersebut bahkan jauh lebih rendah dari Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2013-2022 yang mematok 6.9%.
M047
Pewarta: Monalisa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015