"Dalam UU nomor 24 tahun 2007 penanggulangan bencana ada peraturan pemerintah terkait indikasi menetapkan bencana nasional terkait jumlah korban, nah di situlah kelemahan peraturannya di mana memang korban jiwa tidak banyak tapi pemenuhan atas hak-hak manusia kan tidak bisa diberikan dalam hal ini," kata Walhi.
Walhi mencatat, kabut asap telah menyebabkan puluhan ribu penduduk terserang infeksi saluran pernafasan akut, dengan rincian Riau sebanyak 9.286 orang, Jambi 14.602 orang, Sumatera Selatan 24.824 orang, dan Kalimantan Selatan 6.300 orang.
"Di sini sudah ada pelanggaran HAM dan konstitusi. Masyarakat tak lagi mendapat hak untuk hidup di lingkungan yang sehat. Itu baru data untuk jumlah warga yang berobat, belum yang terpapar berapa. Kalau data BNPB saja mencatat sampai 25,6 juta," kata juru bicara Walhi Mukri Friatna di Jakarta, Senin.
Seharusnya, kata Mukri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengamandemen regulasi terkait indikasi penetapan bencana nasional.
Itulah sebabnya, Walhi mengimbau Komnas HAM untuk terlibat menyuarakan hal ini sehingga sumber daya untuk menjawab pemenuhan hak manusia di wilayah itu bisa segera digerakkan.
"Yang bahaya adalah jika bencana terjadi di Papua. Di sana lahannya luas tapi penduduknya sedikit, jadi mau sebesar apa pun lahan yang terdampak, tidak akan bisa dikatakan sebagai bencana nasional karena jumlah penduduknya tidak memenuhi," kata Mukri.
Dengan menaikkan status menjadi bencana nasional memang akan berisiko pada pemerintahan daerah karena akan dianggap gagal menangani kabut asap.
"Memberikan layanan gratis untuk ISPA namanya kewajiban karena kan bencana disebutnya, bencana memang harus negara yang tanggung, kecuali kalau insiden maka dibebankan pada pihak yang menyebabkan," pungkas Mukri.
Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015