Jakarta (ANTARA News) - Saat ini, Jakarta membutuhkan air baku setidaknya 26.200 liter per detik untuk memenuhi kebutuhan air bersih 10 juta penduduknya. Sementara, saat ini ketersediaan air baku hanya 17.000-an liter per detik.

"Artinya, sampai 2015 masih defisit sekitar 9.100-an liter air per detik," kata Meyritha Maryanie, Corporate Communications PT Palyja, operator air bersih rekanan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya yang menangani pelayanan air besih wilayah Barat DKI Jakarta di Jakarta, Minggu.

Air baku yang diolah operator asing itu bukan didapat dari sungai yang mengaliri Jakarta, tapi didatangkan dari wilayah lain.


"Air sungai sudah tercemar tidak memenuhi baku mutu air baku untuk minum," kata Meyritha.


PT Palyja mengambil air dari Waduk Jatiluhur dan membeli dari Tangerang.


"Sumber air baku Palyja adalah sekitar 62 persen dari Jatiluhur yang dikelola Perum Jasa Tirta II dan 33 persen dari PDAM Tangerang, hanya lima persen air baku dari sungai di Jakarta," kata Meyritha.


Air sungai di Jakarta yang sudah tercemar berat juga dikemukakan pengkampanye air Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) M Islah.


Dia mengatakan 13 sungai besar di Jakarta airnya tak layak konsumsi karena tercemar.


Walhi mengusulkan pemulihan sungai tidak dilakukan dengan cara pandang teritorial tapi harus berdasarkan daerah aliran sungai (DAS).

Di Jakarta, rusaknya sumber daya air diakibatkan karena pembangunan dibiarkan tidak mengindahkan ruang, mengubah bentang alam misalnya dengan menguruk atau menggali sepanjang DAS dan rusaknya kualitas air akibat pembuangan limbah secara langsung oleh industri maupun secara tidak langsung seperti limbah kemasan.

"Sekarang yang namanya revitalisasi sungai cuma diturap, digali lagi endapannya, rumah-rumah digusur, tidak bisa sebatas itu, banyak faktor terkait industri, kurangi produksi sampah plastik dan tentunya jangan buang sampah sembarangan. Itu semua cuma memperbaiki masalah di tengah-tengah jalur sungai, bagaimana dengan yang di hulu? Apakah hulu juga diperbaiki?" kata Islah.

Selain itu, siklus hidrologi juga harus diseimbangkan kembali supaya jumlah air yang kita gunakan bisa kembali ke tanah. Caranya, menurut Walhi, dengan memperbaiki daerah hulu, membuat daerah resapan air dan tangkapan air sehingga air bisa terserap.

"Jika siklus hidrologi tergaganggu dan air sebagai sumber kehidupan menjadi sumber ancaman, di musim hujan menjadi banjir dan di musim kemarau terjadi kekeringan." katanya.

Pelestarian air
Jika keadaan tersebut dibiarkan terus menerus, maka pada tahun 2023, dipastikan Jakarta akan defisit pasokan lebih dari 13.000 liter per detiknya.


Gerakan-gerakan menghemat air kini terlihat di kalangan pelajar hingga mahasiswa, contohnya adalah komunitas Ranting Hijau dari Universitas Indonesia yang mengkampanyekan gaya hidup hemat air yang disebut #greenmasjid.

Kampanye tersebut mengajak masyarakat untuk mengetahui berapa liter air yang mungkin terbuang dalam kehidupan sehari-hari misalnya saat berwudhu bagi umat Muslim.

Komunitas tersebut cukup kreatif dengan membuat info grafis materi kampanye mereka dan menyebarkannya melalui media sosial.

Salah seorang penggagas kampanye, Hilmiyah Tsabitah, mengatakan kampanye yang dimulai sejak bulan puasa lalu cukup ampuh untuk membangkitkan kesadaran masyarakat di lingkungan sekitar Masjid Ukhuwah Islamiyah UI.

"Selanjutnya, kami akan terus mengkampanyekan gerakan hemat air ke masjid-masjid lain selain di kawasan UI, misalnya di Bogor dan sekitarnya. Mudah-mudahan dengan ini masyarakat mulai sadar betapa pentingnya menghemat air," kata Hilmi.

Salah satu yang menarik dalam kampanye tersebut adalah, anjuran membuka kran setengah saja saat berwudhu. Alasannya, dengan membuka kran hanya setengah penuh maka masjid bisa menghemat rata-rata 2.500 liter air dalam sehari.

Jumlah itu setara dengan 50.000 mata air yang debitnya sama dengan 500 liter per menit dalam sebulan.

Selain dihemat, ketersediaan air juga bisa dijaga lewat pembuatan sumur resapan.


Walhi mengemukakan air hujan selama ini terbuang. Idealnya, air hujan masuk ke sumur resapan.


Syarat membuat sumur resapan tidak beda dengan sumur biasa, namun setelah itu sumur ditutup dan air hujan dialirkan ke situ. Kedalaman satu hingga dua meter dan jaraknya sekitar lima meter dari septic tank.


"Saat Anda membuat sumur resapan, Anda akan terpesona betapa tanah kita ini sebenarnya sangat haus, dia akan sangat cepat menyerap air. Kalau itu dibuat oleh masyarakat Jakarta dipastikan sumur kita tidak akan kering karena kita ada air yang masuk, nabung," kata M Islah.


Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015