Jakarta (ANTARA News) - Komisi VI DPR RI meminta Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian bersama instansi terkait untuk menghitung ulang neraca gula nasional.
Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Heri Gunawan terkait kebijakan Kementerian Perdagangan yang telah membuka kran impor gula refinasi sebanyak 3,12 juta ton tahun 2015.
"Perhitungan itu harus dilakukan dengan mengecek langsung produksi dan konsumsi gula di lapangan. Jangan hanya hitung diatas meja dengan mendasarkannya pada proyeksi dan asumsi yang bisa bias," kata Heri dalam rilis yang diterima ANTARA News, Jakarta, Sabtu.
Selain itu, Kemendag dan Kemenperind juga harus aktif meningkatkan koordinasi dengan berbagai institusi lain, termasuk dengan asosiasi-asosiasi gula di Indonesia, dalam rangka re-kalkukasi neraca gula nasional. Termasuk juga koordinasi dengan BKPM dalam rangka menata ulang kebijakan investasi untuk penguatan industri gula nasional.
Katanya, Kementerian Perdagangan telah membuka keran impor gula refinasi sebanyak 672.000 ton untuk kuartal I-2015 dan 945.643 ton untuk kuartal II-2015, untuk kuartal III sebesar 600.000 ton. Total impor gula refinasi selama 2015 ini sudah mencapai 2,2 juta ton. Bahkan rencana kuota tahun 2015 sampai 3.12 juta ton.
"Masuknya gula refinasi sebesar 3.12 juta ton itu dipandang tidak pro petani. Masuknya gula refinasi yang peruntukkannya bagi industri makanan dan minuman itu akhirnya merembes ke pasar-pasar konsumsi dan merusak harga. Petani 'terbunuh'," kata Heri.
Dari data Asosiasi Gula Indonesia (AGI) menunjukkan bahwa stok gula dalam negeri mencapai 4 juta ton/tahun dengan rincian stok 1,5 juta ton + produksi 2,54 juta ton. Konsumsi gula rumah tangga mencapai 2,89 juta ton.
"Jika memakai data AGI, maka mestinya impor hanya 1,4-1,7 juta ton, bukan 3.12 juta ton. Jadi, ada kelebihan sekitar 1.42 juta ton gula rafinasi. Dan itu besar kemungkinan telah dan akan merembes ke pasar-pasar tradisonal yang merusak harga gula," katanya.
Lebih lanjut disampaikannya, kebijakan tersebut, membuktikan tidak beresnya data neraca gula nasional. Data yang tidak valid itu menjadi sebab tidak beresnya masalah gula nasional. "Bagaimana mungkin kita bisa membuat "peta jalan" industri gula nasional kalau neraca gula saja tidak pernah beres," ujarnya.
Kebijakan impor gula sangat bergantung pada dua hal, yakni produksi dan konsumsi gula nasional. Kalau produksi dalam negeri defisit, maka kebijakan impor perlu dilakukan untuk menjaga stok dan stabilitas harga dalam negeri. Dengan basis data yang tidak beres, kebijakan impor bisa menjadi bias dan rawan penyimpangan.
"Kelebihan impor itu sangat mungkin bisa jadi permainan mafia. Jika mafia-mafia itu mendapat Rp2000 setiap kilogram gula, maka mereka bisa bisa untung triliun-an rupiah. Ya, para mafia itu mendapat untung triliunan di atas penderitaan petani gula yang merugi karena harga jatuh," kata anggota DPR RI dari Kabupaten dan kota Sukabumi itu.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang mencapai seperempat miliar orang, maka---berdasarkan data Organisasi Gula Internasional (ISO)---pertumbuhan kebutuhan gula Indonesia sebesar 4 persen per tahun.
"Namun, hingga saat ini, tata kelola gula nasional tetap saja semrawut. Yang paling miris, itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Data neraca gula saja tidak beres-beres. Tidak pernah ada kesamaan/kesesuaian data yang akurat dan pasti terkait produksi dan konsumsi gula nasional.
Data Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, kebutuhan gula diperkirakan mencapai 5,7 juta ton dengan rincian: 2,8 juta ton gula kristal putih konsumsi masyarakat + 2,9 juta ton gula refinasi untuk kebutuhan industri makanan dan minuman. "Data lain menyatakan kebutuhan gula refinasi sebetulnya hanya 2,5 juta ton, sedangkan produksi gula refinasi dalam negeri sekitar 2,1 juta ton," demikian Heri.
Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015