"Kabut asap sudah 10 tahun terjadi sejak 2005, mulai dari Sumatera yakni Medan, Pekanbaru yang paling parah Jambi dan Palembang, hingga Kalimantan bagian Selatan dan Tengah," kata Arista Atmadjati.
"Sayangnya pemerintah tidak pernah menghitung kerugian yang dialami tidak hanya satu-atau dua penerbangan," sambung dia.
Menurut dosen ground handling Universitas Muhammadiyah Tangerang itu, kabut asap dapat mengurangi pendapatan pesawat terbang akibat buka tutup bandara oleh jarak pandang di bawah batas normal.
"Revenue rugi, operating hour maskapai menjadi membingungkan, rotasi pesawat kacau. Maskapai rugi besar," ujar Arista. "Karena ini bisa berlangsung sebulan-dua bulan, akan terjadi potential loss yang sangat besar, yang juga akan menghambat pergerakkan ekonomi provinsi."
Interkoneksi antarmoda transportasi akan menjadi solusi bagi masalah ini di mana pihak maskapai penerbangan dapat bekerja sama dengan PT Pelni melalui jalur laut.
"Akan menjadi ide bagus jika wilayah yang memiliki pelabuhan, Banjarmasin misalnya, dijajaki kerjasama. Namun ini sudah ranah pemerintah," kata Arista.
Hal senada jdisampaikan pengamat transportasi Danang Parkesit yang mengatakan perlunya solusi antarmoda transportasi.
"Harus ada solusi intermoda dan pilihan moda supaya mobilitas tidak terganggu," ujar dia.
Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015