Saat itu, kemenangan Iqram sudah di depan mata setelah ia memimpin 20-18 pada rubber game melawan Vincentius Suwarland asal Pekanbaru, Riau. Raket tersebut adalah "jimat" bagi Iqram. Raket yang selalu ia pakai dalam setiap pertandingan karena pemberian dari sang idola dan juga legenda bulu tangkis Christian Hadinata.
Permainan Iqram mulai terganggu sampai akhirnya ia berbalik tertinggal dan akhirnya kalah 20-22.
Iqram menangis tersedu-sedu. Namun, ia menangis bukan karena kalah melainkan karena raket yang sudah menjadi jimatnya itu putus.
"Saya menangis bukan karena kalah tetapi karena raket pemberian Koh Chris putus," kata Iqram yang diberi raket saat menjadi pemain terbaik pada Coaching Clinic Djarum 2013 di Makassar itu.
Sebelum senar raketnya putus, Iqram mengaku bermain cukup percaya diri.
"Tetapi saat senar raket putus, konsentrasi saya terganggu. Raket itu seperti ada roh yang membuat saya lebih percaya diri dan lebih yakin, Itu raket kesayangan, sudah seperti jimat," ujar Iqram yang berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan.
Saat masih menangis, Iqram langsung dihibur oleh Christian. Menurut Christian yang merupakan salah satu dari tujuh pendekar bulu tangkis Indonesia era 1970-an itu, sang juara bukan manusia yang tidak terkalahkan.
"Juara itu bukan manusia yang tidak terkalahkan. Juara masih bisa kalah. Saya saja pernah kalah di kejuaraan besar tetapi tergantung menyikapi kekalahan itu, mau terus menangis atau bangkit. Kalau kamu bangkit dan lebih baik, itu baru juara sejati," tutur Christian kepada Iqram.
Setelah mendapat suntikan semangat dari idolanya, Iqram mengaku kembali termotivasi.
"Jadi semangat lagi dan ingat pesannya agar latihan terus," ujar Iqram yang berusia 14 tahun itu.
Impian jadi pemain dunia
Iqram adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari seorang sopir taksi, Ishak Rusli. Ia telah menekuni bulu tangkis sejak duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar dengan bergabung di klub Filla Watch Makassar.
Sejak itu, ia mencintai bulu tangkis dan bermimpi menjadi seperti Tontowi Ahmad. Iqram memang tertarik bermain di sektor ganda putra.
"Saya ingin seperti Tontowi setelah melihat dia di televisi saat menang kejuaraan All England 2012. Saya suka dia karena smesnya kencang," ujar Iqram yang sejak itu ingin menjadi pemain dunia.
Jejak Iqram diikuti oleh adiknya, Nurul Izmi Aprilia. Meskipun baru setahun mendalami bulu tangkis, Nurul yang berusia 12 tahun itu, sudah menjuarai berbagai turnamen. Jadi lah, Iqram dan Nurul sebagai kakak beradik yang kerap juara di sejumlah kejuaraan di Makassar. Keduanya bahkan pernah ditawari bergabung di sebuah klub bulu tangkis besar di Jakarta tanpa dipungut biaya.
Sama seperti Iqram, Nurul juga berhasil melangkah ke babak grand final audisi umum. "Saya ingin menjadi seperti Susi Susanti," katanya.
Salawati, ibu dari Iqram dan Nurul mengaku mendukung penuh cita-cita kedua anaknya tersebut. Bahkan, untuk menuju ke Kudus, mereka terpaksa meminjam uang kepada tetangganya.
"Biaya berat sekali, sampai pinjam Rp2 juta sama tetangga karena kalau naik pesawat uangnya tidak cukup," tutur Salawati.
Mereka berempat memilih menggunakan kapal laut untuk menghemat biaya. Dari Makassar pada 1 September, mereka menuju Surabaya, lalu melanjutkan perjalanan ke Kudus menggunakan jasa travel. Tiba di Kudus, mereka menyewa kamar kos seharga Rp100.000 per malam.
"Kalau naik kapal hanya Rp300 ribu, separuhnya naik pesawat. Lalu naik travel Rp120 ribu," jelas Salawati. "Ini pertama kali naik kapal ke Jawa, rasanya pusing dan sempat mabuk. Tapi tetap semangat demi menjadi atlet dunia," tambah Nurul.
Selama dua hari satu malam, mereka menerjang laut menuju Pulau Jawa dengan membawa segudang harapan.
"Saya cuti tidak nyupir, demi anak. Kebetulan kemauan mereka tinggi. Semoga bisa mengubah nasib," harap Rusli.
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015