"Dibentuk tim untuk menyusun kerangka acuan bagi kereta dengan aspek seperti apa yang dibangun. Bukan hanya terkait pelayanan, tapi juga standar pemeliharaan, persimpangan dengan bus termasuk properti," kata Darmin seusai menerima kedatangan Duta Besar Jepang di Jakarta, Jumat.
Darmin menambahkan kerangka acuan ini diperlukan untuk menimbang kelayakan proyek kereta berkecepatan menengah serta pengembangan kawasan di sekitar wilayah rel kereta tersebut antara Jakarta-Bandung.
Selain itu, menurut dia, kerangka acuan dibutuhkan sebagai panduan untuk proyek kereta berkecepatan menengah setelah pemerintah menolak proposal pembangunan kereta cepat dari Jepang dan Tiongkok.
Terkait penolakan kereta cepat tersebut, Darmin telah bertemu Duta Besar Jepang untuk menyampaikan terima kasih atas proposal kereta cepat yang telah diajukan dan menjelaskan alasan untuk tidak melanjutkan proyek itu.
"Saya juga mengundang Dubes Jepang untuk menyampaikan apakah Jepang masih tetap berminat dan tidak perlu dijawab sekarang. Itu nanti setelah ada kerangka acuannya, termasuk pembiayaannya yang tidak membebani APBN," ujarnya.
Duta Besar Jepang untuk Indonesia Yasuaki Tanizaki mengaku sedikit kecewa, pihaknya gagal memenangkan pengadaan proyek kereta cepat, namun bisa memahami alasan pemerintah Indonesia yang belum menginginkan proyek tersebut.
"Kami percaya Jepang memiliki teknologi unggul dalam aspek keselamatan, tapi keputusan telah diambil. Kerja sama bilateral kami juga akan tetap kuat dan terjaga, karena Jepang dan Indonesia adalah mitra strategis nasional," ujarnya.
Tanizaki belum mau berkomentar mengenai kemungkinan Jepang akan menyiapkan proposal untuk kereta berkecepatan menengah, apalagi proyek tersebut nantinya menggunakan skema business to business.
"Kami baru mendengar ide mengenai kereta berkecepatan menengah, tapi informasi itu belum kami terima, baru sebatas ide. Kami masih menunggu detail rencana tersebut. Setelah prosesnya B to B, kami juga belum tahu ketertarikan perusahaan swasta Jepang," jelasnya.
Pemerintah telah menolak proposal Jepang dan Tiongkok terkait kereta cepat yang dinilai kurang layak untuk Jakarta-Bandung, karena lebih memadai pembangunan kereta berkecepatan menengah 200-250 kilometer per jam bagi jarak yang sama.
Pemerintah juga memastikan apabila proyek pembangunan kereta masih berlanjut, maka kerja samanya berlangsung melalui "business to business" (B to B) dan skema pembiayaannya tidak menggunakan APBN langsung maupun tidak langsung.
Sebelumnya, pemerintah menerima proposal proyek kereta cepat Indonesia yang diwacanakan sekelas "Shinkansen" dengan kecepatan 300-350 kilometer per jam dari Jepang dan Tiongkok untuk melayani rute Jakarta-Bandung.
Jepang sudah terlebih dahulu melakukan studi kelayakan tahap pertama dan menyerahkan proposal kepada pemerintah. Menurut data Bappenas, dari proposal Jepang diketahui biaya pembangunan rel dan kereta cepat sebesar 6,2 miliar dolar AS.
Sedangkan, Tiongkok melakukan studi kelayakan setelah Jepang. Dari proposal Tiongkok, kebutuhan investasi untuk pembangunan rel dan kereta cepat sebesar 5,5 miliar dolar AS.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015