Jakarta (ANTARA News) - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan lebih baik mengatasi kemacetan yang terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta daripada membangun kereta api super cepat Jakarta-Bandung.
"Pembangunan kereta api super cepat tidak efisien dari sisi kebijakan transportasi. Untuk apa kereta api super cepat, tetapi menuju stasiun perlu waktu dua jam lebih?" kata Tulus Abadi melalui siaran pers diterima di Jakarta, Jumat.
Tulus menilai keinginan membangun kereta api super cepat lebih merupakan politik mercusuar agar disebut sebagai negara ultramodern. Namun, menurut dia, untuk apa predikat itu bila infrastruktur yang utama justru masih kedodoran.
"Negara-negara yang membangun kereta api super cepat adalah negara dengan sistem transportasi dan angkutan umum yang sudah beres," tuturnya.
Tentang kereta api super cepat yang tidak akan dibangun menggunakan dana APBN, Tulus mengatakan sama saja bila pembangunan kereta prestisius itu berasal dari utang.
"Bahkan lebih berbahaya. Untuk apa meminjam dana dari luar negeri untuk membangun sesuatu yang tidak ada urgensinya?" katanya.
Tulus mengatakan pembangunan kereta api super cepat justru merupakan kebijakan yang berisiko tinggi bila di kemudian hari mengalami kegagalan. Dia bertanya, siapa yang akan menanggung utang yang muncul dari proyek tersebut bila gagal.
Karena itu, Tulus menyarankan sebaiknya pemerintah berfokus pada pembangunan infrastruktur transportasi yang lebih terjangkau dengan aksesibilitas tinggi dan terintegrasi.
"Bukan kereta api super cepat yang padat modal, padat teknologi tetapi miskin pengalaman," ujarnya.
Menurut Tulus, pembangunan kereta api super cepat bukan hal mendesak dan tidak ada urgensinya. Yang sangat mendesak adalah kebutuhan transportasi umum di kota-kota besar yang saat ini mati suri.
"Revitalisasi angkutan umum jauh lebih bermartabat daripada kereta api super cepat yang hanya akan memanjakan investor belaka," tuturnya.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015