Kudus (ANTARA News) - Setelah 33 tahun, Johan Wahyudi akhirnya bertemu lagi dengan Liem Swie King di Kudus, Jawa Tengah.
Bersama Rudy Hartono, Tjun Tjun, Christian Hadinata, Iie Sumirat dan Ade Tjandra, mereka pernah mendapat julukan tujuh pendekar bulu tangkis Indonesia karena tak terkalahkan pada era 1970-an.
"Pertama bertemu Swie King saya tanya kenapa jalannya seperti itu, ternyata dia baru saja operasi di pinggang," kata Johan, Kamis.
Menurut Johan, tidak banyak yang berubah pada Liem Swie King.
"Dia itu dari dulu memang baby face, wajahnya dari dulu ya seperti itu. Badannya saja yang berubah," selorohnya.
Pria yang meraih enam gelar juara All England kategori ganda putra berpasangan dengan Tjun Tjun itu tidak menyangka bisa bertemu kembali dengan legenda hidup bulu tangkis lain saat audisi umum Djarum Beasiswa Bulu Tangkis 2015 yang berlangsung 31 Agustus hingga 3 September di Kudus.
Di antara para legenda yang hadir ada Christian Hadinata, Lius Pongoh, Eddy Hartono, Hariyanto Arbi, Kartono Hari Atmanto, dan Heryanto Saputra.
Ada pula Denny Kantono, Bobby Ertanto Kurniawan, Simbarso Sutanto, Hastomo Arbi, Fung Permadi, dan Hadiyanto.
"Saya juga baru ketemu lagi dengan Heryanto sejak terakhir tahun 1982," kata Johan, yang lahir di Malang pada 10 Februari 1953.
Lalu apa yang dibicarakan saat para legendaris bulu tangkis bertemu?
"Kami tidak hanya membicarakan bulu tangkis nasional, bagaimana supaya pembinaan bisa lebih baik. Tetapi juga saling reuni, berbagi pengalaman. Pasti ramai sekali karena cerita macam-macam," kata Christian.
Wisata kuliner juga menjadi agenda mereka selama berada di Kudus.
"Kalau rekomendasi makanan itu dari Hastomo Arbi karena dia asalnya dari sini," ujar Christian, yang tak pernah melewatkan makan sate kerbau selama di Kudus.
Beberapa dari mereka juga menyempatkan diri berburu batu akik.
"Selama di Kudus, mereka mencari batu akik. Lius itu yang paling suka batu akik. Saya baru mau pakai cincin batu akik kalau ada yang gambar shuttlecock atau raket," kata Christian, yang menggemari klub sepak bola Real Madrid, lalu tertawa.
Turun gunung
Para legenda bulu tangkis "turun gunung", kembali ke lapangan sebagai tim pencari bakat dalam audisi beasiswa bulu tangkis, karena prihatin melihat prestasi bulu tangkis Indonesia yang meredup.
"Saya mau turun lagi karena prihatin. Demi negara saya mau," ujar Johan, yang dianggap sebagai pahlawan SEA Games 1977, Asian Games 1974, serta Thomas Cup 1973, 1976, dan 1979.
Sebelum reuni, dia sempat saling telepon dengan Swie King.
"Saya tanya King, 'Kowe teko ora'? (Kamu datang tidak). Tetapi saya tidak tahu siapa lagi yang datang," ungkap Johan.
Johan ingin berbagi pengalaman dengan generasi bulu tangkis Indonesia di ajang audisi calon penerima beasiswa bulu tangkis itu.
Menurut dia, bulu tangkis Indonesia pernah menjadi yang paling disegani. Dia heran melihat prestasi bulu tangkis yang meredup di tengah dukungan berbagai macam fasilitas.
"Justru saya sekarang bingung, fasilitas enak tetapi kok begini. Bulu tangkis harus mengalahkan diri sendiri, kalau sudah ada bakat dan latihan bagus, tetapi tidak ada semangat bagaimana," tuturnya.
Selain itu, Christian menambahkan, mereka hadir untuk memberi motivasi kepada para atlet usia dini yang kelak akan menjadi penerus.
"Kami sesama legenda tidak hanya membicarakan keprihatinan masalah prestasi. Tetapi kami berbagi pengalaman dengan pelatih di sini, untuk atlet-atlet muda. Memberi motivasi mereka kalau jadi atlet bulu tangkis tidak perlu khawatir, terjamin," tutur Christian.
Direktur Program Bakti Olahraga Djarum Foundation Yoppy Rosimin mengaku sempat kesulitan membujuk beberapa legenda untuk bergabung.
"Yang belum biasa dan tidak pernah muncul harus dibujuk lama, biasanya terbentur waktu. Upaya pertama kami, meminta mereka ikut dulu sehari atau dua hari, setelah itu mereka cukup antusias melihat animo peserta. Mereka semakin percaya diri untuk lebih masuk," jelas Yoppy.
Menurut dia, Liem Swie King dan Johan Wahyudi termasuk yang paling susah diajak bergabung.
Yoppy menuturkan penyelenggara mengumpulkan para legenda bulu tangkis untuk membantu mereka mendapatkan bibit pemain berkualitas super.
"Kami mau memakai atau memaksimalkan kejelian mata mereka untuk melihat potensi bakat atlet usia dini," katanya.
"Selain itu, dengan kehadiran mereka antusiasme peserta jadi luar biasa. Ini bagus untuk menjaga api pembinaan di usia dini," demikian Yoppy Rosimin.
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015