Pada Senin dini hari, di pekan kedua bulan Agustus, suhu udara di luar Bandara Internasional El Dorado di Bogota berkisar di angka sepuluh derajat Celsius.
Tapi udara dingin kota terbesar di Kolombia itu diabaikan oleh sembilan pemuda-pemudi Indonesia yang baru menginjakkan kaki di tanah Amerika Selatan, setelah lebih dari 35 jam penerbangan dari Tanah Air.
Delapan dari sembilan penerima beasiswa belajar Bahasa Spanyol dari Pemerintah Kolombia itu hanya punya waktu sehari di Bogota sebelum berangkat ke tempat mereka belajar di Kota Bucaramanga di negara bagian Santander.
Selama di Bogota, mereka mengunjungi pusat kota La Candelaria, rumah bagi bangunan-bangunan tua bersejarah peninggalan zaman kolonial Spanyol dan gedung pemerintahan Kolombia.
"Bogota itu tipikal kota metropolitan, namun bisa dibilang kota tua yang terawat. Artinya meskipun kota metropolitan, bangunan-bangunan tuanya masih terjaga," kata Muhammad Bezqoni, seorang pemandu wisata senior, salah satu peserta program beasiswa Bahasa Spanyol dari Pemerintah Kolombia.
Berkat usaha pemerintah setempat melestarikan peninggalan sejarah dari abad ke-15 hingga abad ke-17 itu, La Candelaria menjadi pusat sejarah dan magnet pariwisata di Kolombia.
Pengunjung bisa menyusuri La Candelaria yang berbukit dan dibelah jalan-jalan bebatuan tertata apik dengan berjalan kaki.
"Jika ke sini, saya sarankan memakai sepatu yang nyaman melihat medannya seperti itu. Dan kebanyakan jalanan di sini terbuat dari batu, bukan aspal, suasananya mirip di Eropa Barat dan Eropa Timur," kata Yossie Suryanata, seorang pemandu wisata senior yang mendapat beasiswa untuk belajar di Kolombia.
Di sana, para pelancong bisa menikmati arsitektur bangunan lama yang berbaur dengan bangunan-bangunan modern dan gereja-gereja katolik tua seperti La Iglesia de Candelaria dan Iglesia del Carmen.
Penyuka museum bisa menengok Museo Del Oro atau Museum Emas, Museum Seni Kolonial, dan Museo Botero yang memamerkan koleksi lukisan dan patung karya seniman termahsyur Kolombia Fernando Botero.
Di sepanjang jalanan sempit La Candelaria, juga terdapat sejumlah toko dan kios yang menjajakan kopi serta kuliner setempat.
"Kebanyakan cara pandang orang terhadap negara Kolombia itu negatif, masih berkecamuk dan terdapat konflik. Setelah saya tiba di sini, kenyataannya 180 derajat," sambung Bezqoni.
Sesampainya di Bogota, pria yang akrab dipanggil Bebez itu sangat terkesan dengan tata kota dan gaya hidup masyarakat Kolombia.
"Jalan yang rapi dan bersih, serta kebiasaan orang yang lebih suka berjalan kaki daripada menggunakan kendaraan pribadi," kata dia.
Plaza de Bolivar
Dari Museo Botero, dua blok ke arah Barat, menyusuri Calle 11, ada Plaza de Bolivar yang menjadi pusat La Candelaria.
Bayangkan gedung-gedung bergaya arsitektur Eropa lama di kawasan kota tua Jakarta, kemudian lipatgandakan beberapa puluh kali, kira-kira seperti itulah Alun-Alun Bolivar, saksi dan simbol dari sejarah kemerdekaan dan perjuangan Kolombia.
Di tengah Plaza de Bolivar, berdiri patung Simon Bolivar, pejuang kemerdekaan yang membebaskan Kolombia dan negara-negara Amerika Latin dari kolonialisme Spanyol.
Patung yang dipahat dari perunggu oleh seniman Italia Pietro Tenerani itu ditetapkan sebagai monumen nasional pada 1994.
Selain bercengkerama dengan ribuan merpati, pengunjung bisa menikmati pemandangan gedung-gedung tua bersejarah yang kini difungsikan sebagai kantor pemerintahan di sekitar Plaza.
Gedung Palacio de Justicia, yang dibangun kembali setelah sempat hancur karena sejumlah konflik di masa lalu, berdiri di sebelah utara Plaza. Palacio de Justicia sekarang digunakan sebagai gedung Mahkamah Agung Kolombia.
Sementara Catedral Primada de Colombia yang dibangun pada abad ke-17 berdiri megah di sisi timur Plaza de Bolivar. Bangunan dengan gaya neo-klasikal ini merupakan salah satu monumen nasional di Kolombia.
Gereja terbesar di Kolombia itu merupakan rumah bagi berbagai peninggalan karya seni religius di Kolombia.
Melengkapi panorama 360 derajat di Plaza Bolivar, di sebelah selatannya berdiri gedung Capitolio Nacional atau gedung Kongres Kolombia, sementara di sebelah baratnya ada Gedung Lievano yang kini menjadi rumah dinas Wali Kota Bogota.
"Di Bogota, banyak bangunan lama dimanfaatkan. Bangunannya sangat terawat dan gedung-gedung tua dijadikan pusat pemerintahan. Sedangkan di negara sendiri, kadang orang tidak mau memakai gedung lama, harus membangun gedung baru," kata Bezqoni.
La Candelaria juga memiliki Centro Cultural Gabriel Garcia Marquez, dan Plazuela Del Chorro Del Quevedo, suatu wilayah yang menjadi cikal bakal Kota Bogota.
Tempat itu juga menjadi rumah bagi seniman jalanan untuk mengeluarkan "uneg-uneg" lewat lukisan tembok atau mural.
Selain imajinasi, gejolak politik dan isu kesetaraan sosial di Kolombia menjadi salah satu sumber inspirasi seniman jalanan dalam menghias tembok-tembok rumah, toko, restoran maupun taman-taman di La Candelaria.
"Banyak banget mural di La Candelaria, menurut saya sih bagus. Walaupun ada pula yang hanya corat-coret vandalisme, namun mural yang sesungguhnya banyak di sini," kata Amelia Fitriani, jurnalis asal Indonesia peserta program beasiswa pemerintah Kolombia.
Sedikit saran dari Bezqoni dan Yossie, jika melancong ke Bogota, para wisatawan sebaiknya membawa payung kecil atau mantel karena cuaca di sana susah diprediksi.
"Selain itu perlu juga untuk membawa jaket, karena di sini benar-benar dingin. Dan jangan kaget jika sejumlah hotel di Bogota tidak memakai AC karena suhu udara setempat yang demikian," kata Yossie.
Dan benar saja, menjelang maghrib, angin gunung yang dingin turun menyusup ke jalan-jalan sempit La Candelaria, membuat pengunjung melangkah dalam dingin saat meninggalkannya.
Oleh Aditya ES Wicaksono
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015