Jakarta (ANTARA News) - Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat menyatakan buruh tidak akan berbuat anarkis apalagi melakukan kudeta terhadap pemerintahan pada aksi Selasa, tetapi hanya meminta Presiden Joko Widodo lebih melindungi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
"Pemerintah harus memberikan perhatian kepada rakyat dengan cara melindungi setiap kepentingan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945," kata Mirah Sumirat melalui siaran persnya di Jakarta, Selasa.
Mirah mengatakan di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi saat ini, akibat jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hingga menembus Rp14.000/ dolar, pemerintah perlu memberikan jaminan ketersediaan lapangan pekerjaan dan pemenuhan hak dasar pekerja.
Karena itu, buruh melakukan aksi serentak di 20 provinsi supaya Presiden Jokowi segera mengambil sikap terhadap permasalahan rakyat.
Salah satu tuntutan buruh pada aksi tersebut adalah menolak kebijakan pemerintah yang memudahkan pekerja asing masuk ke Indonesia dengan dihapusnya kewajiban menguasai Bahasa Indonesia.
"Penolakan itu dilakukan karena angka pengangguran serta pemutusan hubungan kerja di Indonesia masih tinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia meningkat 300.000 orang, sehingga total mencapai 7,45 juta orang pada Februari 2015," tuturnya.
Sedangkan data yang disampaikan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan jumlah karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja pada 2015 sudah mencapai 26.000 orang.
"Kondisi ini seharusnya disikapi pemerintah dengan lebih memberikan perlindungan kepada tenaga kerja Indonesia, bukan malah memberikan karpet merah pada pekerja asing untuk mudah bekerja ke Indonesia," kata Mirah.
Mirah mengatakan pemerintah seharusnya tidak tunduk pada kekuatan pemodal asing, tetapi harus berani melindungi kepentingan rakyatnya sendiri.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (2) sesungguhnya telah menegaskan kewajiban negara untuk menjamin hak warga negara Indonesia atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Karena itu, pada aksi 1 September, Aspek Indonesia menyuarakan 11 tuntutan, yaitu turunkan harga barang pokok dan bahan bakar minyak (BBM) dan tolak pemutusan hubungan kerja dengan alasan pelemahan rupiah dan perlambatan ekonomi.
Tolak masuknya tenaga kerja asing dan batalkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Naikkan upah minimum 2016 sebesar 22 persen untuk menjaga daya beli rakyat serta tambahkan komponen kebutuhan hidup layak (KHL) yang menjadi dasar penetapan upah minimum dari 60 butir menjadi 84 butir.
Angkat pekerja kontrak dan ali daya menjadi karyawan tetap, khususnya di badan usaha milik negara dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, serta angkat guru honor dan pekerja honor menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Revisi Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Pensiun yaitu manfaat pensiun buruh harus sama dengan PNS bukan Rp300 ribu per bulan setelah 15 tahun masa kerja.
Perbaiki pelayanan BPJS Kesehatan dengan menghapus sistem INA CBGs dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun 2014 yang membuat tarif murah, tolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan, tambah dana PBI menjadi Rp 30 Triliun dan provider rumah sakit atau klinik diluar BPJS bisa digunakan untuk COB).
Bubarkan pengadilan hubungan industrial dengan merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, periksa direksi PT Dunkindo Lestari atas kecelakaan kerja yang menyebabkan kematian Muhammad Ali, serta hentikan "union busting" terhadap serikat pekerja yang dilakukan perusahaan.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015