Jakarta (ANTARA News) - Penurunan suku bunga Bank Sentral Tiongkok pekan lalu dianggap belum akan memberikan dampak signifikan, atau masih terbatas, bagi permintaan komoditi ke mitra Tiongkok, termasuk Indonesia, kata Staf Ahli Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
"Kemungkinan memang ada (menaikkan permintaan) tapi tidak akan terlalu kuat, hanya memperlambat penurunan," kata Staf Ahli Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Bambang Priambodjo saat ditanya mengenai dampak pelonggaran kebijakan moneter tersebut di Jakarta, Senin.
Bambang mengatakan penurunan suku bunga Tiongkok tersebut, sebesar 25 basis poin menjadi 4,6 persen, tidak akan berimplikasi besar bagi pasar komoditas global.
Harga komoditas global baru akan pulih, kata Bambang, jika negara-negara lain yang juga importir besar menikmati stimulus ekonomi dari kebijakan fiskal atau moneter masing-masing negara.
"Permintaan komoditi itu tidak hanya dikendalikan Tiongkok, tapi semua negara. Kontribusi Tiongkok ke ekonomi global juga tidak tinggi, masih di bawah kontribusi AS sebesar 25 persen terhadap PDB global," ujarnya.
Bambang menilai langkah otoritas moneter Tiongkok tersebut lebih untuk memulihkan dan stabilisasi pasar keuangan Tiogkok yang terus bergejolak setelah devaluasi mata uang Yuan.
"Apakah mampu menggerakkan permintaan komoditi, itu sebenarnya kombinasi dari mata uang Yuan yang rendah, suku bunga, kemudian permintaan yang di luar juga. Kalau permintaan di luar juga tidak cukup kuat ya tetap rendah," kata dia.
Sebelumnya, Bambang menuturkan para negara-negara anggota G-20 dapat merumuskan sebuah kebijakan atau konsensus untuk mendorong pemulihan ekonomi global.
Dia menjelaskan melonjaknya harga komoditi pada 2008 juga terjadi setelah negara-negara G-20 melakukan kebijakan bersama untuk mendorong pemulihan ekonomi, pascakrisis ekonomi global pada 2008.
"Yang sekarang ini belum terlihat. Ini yang sekarang saya agak bingung. Dulu ada misi yang konkret," ujar dia.
Perlambatan ekonomi global sejak selesainya era melonjaknya harga komoditi, ditambah normalisasi moneter yang ditempuh Amerika Serikat sangat berimplikasi pada negara-negara yang sedang tumbuh (emerging markets).
Kinerja ekspor Indonesia hingga Juli masih tertekan karena penurunan harga komoditi global.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor Indonesia per Juli 2015 sebesar 11,4 miliar dolar AS mengalami penurunan 15,53 persen dibanding Juni 2015. Adapun, jika dibandingkan Juli 2014, kinerja ekspor turun 19,23 persen.
Secara kumulatif, ekspor Indonesia Januari-Juli 2015 mencapai 89,76 miliar dolar AS atau menurun 12,81 persen dibanding periode sama di 2014. Begitu juga dengan ekspor nonmigas yang mencapai 78,3 miliar dolar AS, namun turun 7,55 persen dibanding periode sama 2014.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015