Saya khawatir, pihak Kedubes Arab Saudi disalahkan. Padahal, duduk persoalannya tidak demikian. Ini kan sistem."
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin mewakili pemerintah meminta maaf kepada Calon Jemaah haji (Calhaj) dan keluarganya yang tertunda keberangkatannya ke Tanah Suci, karena persoalan keterlambatan pembuatan visa haji.
Namun ia menjamin jamaah haji yang tertunda keberangkatannya ke Tanah Suci karena belum mendapatkan visa seluruhnya akan berangkat. Semua pasti berangkat. Hanya ada yang kloternya maju menggantikan jemaah yang visa hajinya belum terbit. Bagi suami-istri yang cuma seorang saja keluar visanya, dia akan diikutkan mundur agar tetap bersama pasangannya.
Permintaan maaf yang disampaikan secara terbuka kepada publik tersebut, Kamis (27/8/2015), bukan kali ini saja. Menag Lukman Hakim sebelumnya juga minta maaf soal qiraah langgam Jawa di istana negara beberapa waktu lalu. Permintaan maaf disampaikan saat berdialog dengan sejumlah pimpinan ormas Islam, Kamis (27/5/2015).
Dalam dialog bersama pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) dan sejumlah ormas Islam itu, Lukman mengakui ide membaca Al Quran dengan langgam Jawa berasal dari idenya. Namun dalam dialog di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Jakarta itu, ia juga menjelaskan bahwa tidak ada maksud dirinya melecehkan Islam atau melecehkan Al Quran.
Permintaan maaf yang disampaikan Menag sejatinya merupakan perwujudan sikap kesatria, implementasi dari keberanian seseorang mengakui atas kekurangan dalam memberi pelayanan kepada publik. Lukman mau menunjukan kepada masyarakat bahwa dirinya pun tak lepas dari segala kekurangan, mau berintrospeksi dan tidak mengulangi kesalahan serupa.
Kini, masalah visa yang terjadi pada musim haji tahun ini, memang tidak hanya dialami Indonesia. Berbagai negara di dunia yang memberangkatkan jamaah haji, seperti Thailand, Pakistan, dan Nigeria mengalami hal yang sama. Kendala yang dihadapi Indonesia lebih besar ketimbang negara lain. Indonesia memberangkat haji sebanyak 168.800 orang terdiri atas 155.200 kuota haji reguler dan 13.600 kuota haji khusus.
Di berbagai embarkasi, petugas haji dari Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) kewalahan mendapat pertanyaan Calhaj, yang berulang-ulang mengenai hal yang sama. Yaitu, mengapa visa haji sebagai syarat utama dokumen keberangkatan pada saat yang sudah ditentukan tak kunjung keluar.
Jawabannya pun sama, mulai dari Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin hingga para Kakanwil Kemenag seluruh Indonesia. Yaitu, lambatnya pembuatan visa haji disebabkan adanya perubahan pada musim haji tahun ini. Pemerintah Arab Saudi memberlakukan sistem e-hajj. Melalui sistem ini ada kebijakan hanya penyelenggara atau penanggung jawab haji di negara pengirim yang bisa akses portal e-hajj mereka.
Keinginan Saudi
E-hajj adalah sistem informasi haji dan umrah yang terintegrasi dengan sejumlah negara lain. Arab Saudi menghendaki pada 2015, teknologi itu sudah diaplikasikan. Itu sebabnya pemerintah Arab Saudi, usai musim haji tahun lalu, segera melakukan sosialisasi pemberlakukan e-hajj kepada otoritas penyelenggara haji Indonesia sekaligus pula mengintegrasikan sistem teknologi informasi dan komunikasi (ITC) di Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU).
Indonesia dijadikan Pilot Project tentang penggunaan e-hajj dan sebelum memasuki musim haji 1436 H seyogyanya sudah harus mengerahkan "jago" IT untuk menyatukan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) dengan e-hajj, sehingga asas transparansi dalam penyelenggaraan ibadah haji ke depan semakin berkualitas. Penggunaan e-hajj dengan dukungan ITC sangat menentukan kualitas penyelenggaraan haji ke depan.
Terkait dengan hal itu, Kemenag seharusnya juga sudah bergerak cepat melakukan pembenahan ke dalam. Proses pembuatan paspor jamaah harus dipercepat. Sebab, saat pelunasan, proses pembuatan paspor haji dan dokumen kesehatan jamaah juga sudah harus selesai.
Untuk mendukung ke arah itu, perlu dilakukan penyederhanaan pendaftaran. Matarantai yang dirasakan panjang harus dipangkas. Untuk itu Ketua Komisi VIII Saleh Partonan Daulay mengingatkan Kemenag agar persoalan visa haji diselesaikan. Saat rapat dengan Dirjen PHU Abdul Djamil mengatakan masalah ada karena aturan baru dari Pemerintah Arab Saudi yang menerapkan e-hajj. Djamil mengatakan Insya Allah akan ditangani dengan serius. Tapi faktanya masih ada kendala-kendala hingga saat ini.
Karena itu Menag tidak bisa begitu saja menyalahkan sistem visa e-hajj yang menyebabkan adanya jemaah haji tertunda diberangkatkan dengan alasan belum mendapatkan visa. Seharusnya e-hajj lebih memudahkan bukan malah menyusahkan seperti saat ini.
Ketua Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Slamet Effendi Yusuf mengingatkan bahwa sumber daya manusia pengelolaan haji harus diinovasi. Ini jarang terjadi keberangkatan haji, yang sudah ditentukan orang dan jadwal keberangkatannya, tiba-tiba tidak jadi berangkat karena proses pemvisaan.
Kemenag sudah mengetahui pemerintah Arab Saudi memberlakukan e-hajj sejak selesainya musim haji tahun lalu. Dari situ, lanjut Slamet, sudah diketahui keberangakatan jemaah melalui Siskohat. Seharusnya, Kemenag sudah menyesuaikan Siskohat dengan sistem e-hajj.
"Mengapa sistem e-hajj yang modern, dan canggih tidak "match" dengan Siskohat Indonesia yang sudah terkomputerisasi? Artinya, ada sesuatu yang tidak beres pada pengelolaan Siskohat. Seharusnya pihak Kemenag tinggal mencocokkan jumlah dan jadwal keberangkatan jemaah pada siskohat dengan visa e-hajj," tambah Slamet.
Perlindungan Jemaah
Esensi maksud diberlakukannya e-hajj adalah perlindungan kepada calon jemaah haji dari berbagai negara. Dan bagi sebagian penyelenggara haji khusus - dikenal dengan ongkos naik haji khusus (ONH) plus - sistem e-hajj bukan barang baru lagi dan sudah familiar di kalangan biro perjalanan umroh dan haji khusus. Lantas, apa yang salah sehingga banyak di antara Calhaj reguler keberangkatannya tertunda lantaran belum mendapatkan visa haji di saat keberangkatan.
Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Asosiasi Bina Haji dan Umrah Nahdlatul Ulama (PP Asbihu NU) KH. Hafidz Taftazani mengaku prihatin atas kisruh penerapan sistem elektronik dalam penyelenggaraan haji itu. Katanya, sepekan menjelang keberangkatan Kloter pertama, Kemenag melalui Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) sesumbar, dengan menyebut persiapan keberangkatan jemaah haji dari Tanah Air sudah 90 persen saat itu.
Faktanya, tatkala di antara Calhaj hendak bertolak terjadi penundaan karena visa haji tak kunjung tiba. Alasan yang dikemukakan pemerintah adalah digunakannya sistem e-hajj oleh Pemerintah Arab Saudi. Sistem tersebut dianggap Kemenag baru digunakan. Padahal Kementerian Haji Saudi, pasca-musim haji 1435H lalu, sudah melakukan sosialisasi, mengenalkan sistem aplikasinya sekaligus memberi pelatihan.
Sekarang ini, ia melanjutkan, tatkala ramai dibincangkan soal e-hajj sebagai penyebab lambatnya visa haji, pembicaraannya melebar. Bahkan ada kecenderungan opini publik digiring menyalahkan Kedutaan Besar Saudi di Jakarta yang dinilai bekerja lambat. Sesungguhnya, jika dilihat secara proporsional tidaklah demikian.
Sistem e-hajj adalah sebuah sistem aplikasi haji secara elektronik, menyediakan kolom-kolom yang harus diisi penyelenggara haji. Kolom-kolom itu di antaranya berisi pertanyaan tentang kelengkapan persyaratan Calhaj, mulai nama, nomor paspor, maskapai penerbangan, hotel di Mekkah dan Madinah, transportasi darat, di Arafah berada di maktab berapa dan seterusnya.
Seluruh kontrak layanan di Arab Saudi seperti katering dan akomodasi, termasuk asuransi, layanan di Armina (Arafah, Mina, dan Muzdalifah) masuk ke dalam persyaratan dalam sistem e-hajj, dan penyelenggara diminta membuat pemaketan layanan. Semuanya harus terintegrasi, kata Hafidz menjelaskan.
Ada persyaratan sebelum masuk ke sistem e-hajj, penyelenggara harus memberi uang jaminan untuk sewa hotel dan akomodasi lainnya. Hal ini memang harus diakui dapat berakibat pada proses dan waktu lebih panjang dalam mengurus visa. Imbasnya adalah sebagian calon haji di kloter tertentu terpaksa tertunda keberangkatannya. Tetapi, jika jauh hari sudah dilakukan antisipasi dan dilakukan persiapan dengan baik, tentu keterlambatan dapat dihindari, katanya.
Sebab, menurut dia, tatkala sistem aplikasi tersebut diisi, misalnya untuk kamar pemondokan yang harus diisi empat orang. Lantas di sistem e-hajj dimasukkan lima atau enam orang, maka sistem tersebut akan menolak. Jika seluruh sistem diisi dengan data yang benar, maka sistem tersebut akan memberi tanda atau sinyal hijau dan berisi pesan "mova", yang artinya persyaratan terpenuhi.
Setelah ada jawaban "mova", ia melanjutkan, bisa dibawa ke Kedutaan. Pihak Kedutaan tinggal memberi stempel. Tidak ada lagi sekarang ini kecurigaan petugas Kedutaan Arab Saudi "main mata" untuk memberi visa haji. Semua sudah ada dalam satu sistem e-hajj.
Yang menarik, katanya, seluruh satuan kontrak juga harus dimasukkan dalam sistem e-hajj. Misalnya soal katering dan makan di Mekkah yang mulai diberlakukan pada musim haji 1436 H ini. Belakangan di Tanah Air berkembang pendapat bahwa pemberian makan di Mekkah adalah bagian dari upaya peningkatan pelayanan yang dilakukan Ditjen PHU.
Dengan kata lain, inisiatif pemberian makan di Mekkah yang pertama kalinya itu berasal dari Kemenag. Hal itu tidak demikian. Justru pemerintah Arab Saudi yang memasukkan ke dalam sistem e-hajj. Dan meminta pemerintah Indonesia untuk mengindahkan sistem yang diberlakukan itu. Muaranya, dimaksudkan untuk memberi kenyamanan dan perlindungan atau proteksi kepada Calhaj dari seluruh dunia.
Tentang keterlambatan pembuatan visa haji, Hafidz menyebut bukan karena dari penerapan sistem itu. Tetapi lebih tepat disebut karena ketidaksiapan penyelenggara haji itu sendiri. Saudi Arabia sudah lama melakukan sosialisasi dan implementasi terhadap aplikasi e-hajj.
Idealnya, menurut Ketua Masyarakat Pondok Pesantren itu, Ditjen PHU melakukan sosialisasi kepada awak media tentang e-hajj itu. Jadi, bicara e-hajj harus tahu barangnya seperti apa. Bukan justru menyalahkan kepada sistem e-hajj sebagai barang baru dalam penyelenggaraan ibadah haji.
"Saya khawatir, pihak Kedubes Arab Saudi disalahkan. Padahal, duduk persoalannya tidak demikian. Ini kan sistem," ia menjelaskan.
Pewarta: Edy Supratna Sjafei
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015