...kami orang Sunda tidak demikian kok (kurung batokeun)."
Bandung (ANTARA News) - Sikap luwes, mudah menyesuaikan diri menjadi salah satu rahasia bagi orang/etnis Sunda Jawa Barat bisa kuat menjadi perantau di luar negeri seperti di negara Jepang.
"Menurut penuturan orang sana (Jepang), orang Sunda kalau kerja itu lebih luwes mudah mengikuti aturan setempat," kata Rusly, warga asal Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, saat menghadiri Kongres Ke-42 Paguyuban Pasundan, di Kabupaten Pangandaran, Minggu.
Ciri khas orang Indonesia yang murah senyum dan ramah tampak pada ayah satu anak yang sudah merantau di Jepang sekitar 22 tahun ini saat hendak diwawancarai oleh Antara.
"Alhamdulillah kerja di Jepang dan dapat jodoh juga perempuan Jepang kang. Nama istri saya Kato Yumika, kalau anak namanya Kato Mia Rusliany," ujar Rusly yang saat ini bekerja di perusahaan pengiriman uang di Tokyo, Jepang.
Sambil membawa spanduk berukuran sedang bertuliskan "Paguyuban Pasundan Jepang" ia menjelaskan alasan dirinya terbang selama delapan jam menggunakan pesawat untuk menghadiri Kongres Ke-42 organisasi yang berusia 103 tahun tersebut.
Saat ini dirinya diberi amanat untuk menjadi pengurus Paguyuban Pasundan Jepang, wilayah Tokyo.
Menurut dia, keberadaan Paguyuban Pasundan di Negeri Sakura sudah berdiri cukup lama namun baru diresmikan kepengurusannya pada tahun 2008.
Ia mengatakan organisasi yang menjadi tempat berkumpulnya etnis Sunda di Jepang ini telah memiliki anggota sekitar 1.500 orang.
"Dari jumlah ini, 90 persennya ialah pekerja. Kebanyakan di Tokyo dan Nagoya. Tapi ada juga kepengurusan di Shizuoka atau Kyushu. Kalau ketua umumnya ada di Nagoya, dijabat sama Pak Jajat Suparlan namanya," katanya.
Dia mengakui bahwa keberadaan Paguyuban Pasundan di Jepang saat ini memang baru terkonsentrasi pada kebutuhan etnis Sunda yang ada di negara tersebut.
Berbagai kegiatan difasilitasi oleh organisasi yang dipimpin oleh Prof Didi Turmudzi ini seperti sosialisasi pengurusan paspor kerja sama dengan KBRI atau membantu anak muda etnis Sunda yang baru datang ke Jepang untuk bekerja menjadi fokus utama.
"Tapi pengurus kami juga menggelar kegiatan lainnya di bidang kebudayaan seperti karinding, tari sunda, gamelan sunda, hingga angklung," kata dia.
Masyarakat Jepang sendiri, lanjut dia, cukup tertarik dengan kebudayaan Indonesia, khususnya dari Jawa Barat.
Akan tetapi, kata dia, lamanya waktu kerja orang sunda di Jepang menjadi kendala bagi dia untuk lebih mengenalkan budaya Indonesia kepada masyarakat di sana.
"Jadi pernah dirintis karinding juga. Tapi yang sulit kan orang Indonesia di sana paling dua sampai tiga tahun. Jadi pas timnya kompak, eh ternyata sebagian pulang," katanya.
"Lalu ada juga kekurangan pelatih seperti tari Sunda gitu, padahal responnya bukan cuma dari orang Sunda-nya tapi sebagian masyarakat Jepang. Paling yang sering itu angklung oleh Saung Angklung Udjo," kata dia.
Ia menyatakan peluang bekerja bagi orang Sunda di Jepang memang cukup besar dengan karakteristik yang cenderung penurut membuat orang Sunda lebih mudah diterima dan dinamis dalam menyesuaikan diri.
"Ya itu tadi saya bilang, kebanyakan orang Sunda yang bekerja di Jepang bekerja di pabrik elektronik, otomotif, atau industri pertanian," kata dia.
Lebih lanjut ia mengatakan keberadaan Paguyuban Pasundan di Jepang seolah menjadi "obat" penawar rasa rindu dan kangen terhadap kampung halaman di Indonesia.
"Memang paling gampang kangen kampung halaman yah orang Sunda itu. Jadi melalui Paguyuban Pasundan seperti ini ada wadah untuk kami seperti lebih gampang berkumpul atau berbagi cerita dan saling membantu," katanya.
Oleh karena itu ia dan pengurus Paguyuban Pasundan di wilayah Tokyo, Jepang terus berupaya memotivasi banyak pemuda Sunda lainnya agar lebih berani mengaktualisasi diri.
Kalau istilah bahasa Sunda "kurung batokeun" atau kurang pergaulan selama ini sering disematkan kepada etnis Sunda, kata dia, maka mulai saat ini sudah selayaknya anggapan itu diubah.
"Yang saya lihat dan rasakan, kami orang Sunda tidak demikian kok (kurung batokeun)," kata dia.
Pewarta: Ajat Sudrajat
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015