Jakarta (ANTARA News) - Calon pimpinan KPK Hendardji Soepandji menjamin bahwa dirinya tidak akan menerapkan sistem komando seperti yang diterapkan oleh Tentara Nasional Indonesia.
"Saya sudah pensiun 5,5 tahun. Sudah tidak ada komunikasi dan otoritas pangilima TNI untuk memerintah saya. Status saya adalah swasta murni. Saya membiasakan diri sebagai sipil," kata Hendardji dalam tes wawancara di gedung Sekretariat Negara (Setneg) Jakarta, Selasa.
Hendaradji menjadi peserta kedua yang mengikuti tahap seleksi wawancara pada hari ini.
Ia pun akan menerapkan tiga strategi di KPK, bukan hanya pencegahan dan penindakan.
"Ada tiga strategi penangkalan, penindakan dan penguatan kelembagaan. Di dalam penguatan internal akan ada konsolidasi internal. Dari lima orang komisioner, kami akan taat azas dan dengan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi," ucap Hendardji.
"Apakah anda pernah terima gratifikasi?" tanya anggota pansel Enny Nurbaningsih.
"Tidak pernah. Pada 1997 saat saya memberantas judi, saya menangkap 500 orang, ada cukong yang menawari saya Rp100 juta setiap minggu, tapi tidak saya terima," jawab Hendardji.
"Tapi bagaimana mengenai kompleks Kemayoran, apakah perpanjangan harga sudah selesai kaidah hukum?" tanya Enny karena Hendardji pernah mengelola kompleks Kemayoran.
"Itu kewenangan Setneg, bukan otoritas kami sendiri karena Kemayoran di bawah Setneg dan semua sudah dilaporkan ke Mensesneg," jawab Hendardji yang juga pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012 lalu.
Terkait dengan pokok-pokok kehakiman berdasarkan UU 4 tahun 2004 yang membatasi kewenangan KPK hanya pada tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan oleh sipil.
"Saya akan bangun komunikasi dengan pimpinan peradilan militer karena mereka adalah yunior saya insya Allah bisa diteruskan untuk ditangani tanpa pandang bulu. Tapi kalau ada korupsi dan tidak ditangani benar tentu akan lakukan langkah-langkah operasional seseuai kewenangan, tapi tentu tidak akan menganakemaskan kejahatan korupsi (di peradilan militer)," tambah Hendardji.
Ia mengaku sebagai polisi militer juga berpengalaman mengurus korupsi di lingkup militer dalam waktu lama seperti menangani korupsi bandara Sepingan Balikpapan Kalimantan Timur pada 1982, pada 1994 menangani korupsi aset-aset Mabes TNI senilai Rp415 miliar dan aset-aset TNI Angkatan Daerat senilai Rp129 miliar.
Sedangkan harta Hendardji yang berjumlah Rp32,2 miliar dan 4.000 dolar AS, ia pun mengaku harta tersebut wajar.
"Saya bekerja di TNI 36 tahun dan 2 tahun swasta. Harta itu juga harta saya dan istri saya, istri saya 33 tahun di Kementerian Kesehatan dan terakhir sebagai Sekjen Kemenkes, dan saya saya Aspam Kasad yaitu pembina intelijen matra darat yang dua bulan sekali keluar negeri untuk mengunjungi 44 atase pertahanan," ungkap Hendardji.
"Waktu istri Anda menjabat sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) pengadaan alat kesehatan, ada serah terima di New York, ini menjadi semacam gratifikasi, kalau jadi pimpinan KPK akan jadi sandungan di kemudian hari?" tanya anggota pansel Supra Wimbarti.
"Tidak, karena saya yakin istri saya bersih, tapi kalau betul-betul hal itu terjadi saya akan mejalankan tugas sesuai tupoksi saya. Tapi di Kemenkes ada dua Ratna, satu istri saya Ratna Rosita dan Ratna Umar. Pelaku Ratna (Dewi) Umar yang sudah menjadi tahanan KPK bukan Ratna Rosita," jelas Hendardji.
Namun, Hendraji tidak dengan tegas menjelaskan sikapnya mengenai pengangkatan penyidik independen KPK.
"Kami akan pertajam aturan-aturan itu, sehingga SK KPK untuk mengangkat penyidik tidak jadi permasalah terutama di praperadilankan. Aturan yang belum ada akan kami sempurnakan dan tidak mungkin kami jalan sendiri, tapi komisioner dan internal KPK akan kami berdayakan untuk membuat terobosan," jawab Hendardji.
Pada hari ini ada tujuh orang yang mendapat giliran tes wawancara yaitu Giri Suprapdiono (Direktur Gratifikasi KPK), Hendardji Soepandji (Presiden Karate Asia Tenggara SEAKF), Jimly Asshiddiqie (Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI), Johan Budi Sapto Pribowo (Plt Pimpinan KPK), dan Laode Muhamad Syarif (Lektor FH Universitas Hasanudin), Moh Gudono (Ketua Komite Audit UGM), Nina Nurlina Pramono (Direktur Eksekutif Pertamina Foundation).
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015