Boyolali (ANTARA News) - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah menilai dampak kekeringan akibat musim kemarau di wilayah tersebut masih di bawah 25 persen.
"Boyolali yang terbagi menjadi 19 kecamatan belum perlu status tanggap darurat kekeringan karena dampaknya untuk pemenuhan kebutuhan air minum masih kurang 25 persen dari jumlah penduduknya hampir sekitar satu juta jiwa," kata Kepala BPBD Kabupaten Boyolali, Nur Kamdani, di Boyolali, Selasa.
Selain itu, kata dia, dampak kekeringan terhadap lahan pertanian juga masih di bawah 25 persen dari luasan lahan pertanian yang ada.
"Pada kondisi yang demikian itu, belum perlu ditetapkan tanggap darurat kekeringan," katanya.
Menurut Nur Kamdani, tanggap darurat kekeringan dapat ditetapkan jika dampak dari kekeringan sudah mencapai 60 persen baik untuk pemenuhan kebutuhan air bersih warga maupun tanaman.
"Jika kondisi demikian perlu segera ditetapkan tanggap darurat kekeringan," katanya menegaskan.
Pada musim kemarau 2015 ini, lanjut Nur Kamdani, Kabupaten Boyolali menetapkan status siaga keadaaan darurat kekeringan. Penetapan status itu melalui Surat Keputusan Bupati Boyolali nomor 360/226/2015 yang ditandatangani 5 Mei 2015 dan mulai berlaku selama 92 hari mulai 1 Juli hingga 30 September.
Penetapan siaga keadaan darurat kekeringan tersebut mengacu perkiraan musim kemarau yang dikeluarkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofika (BMKG), bahwa puncak kemarau akan berlangsung hingga minggu pertama September.
Pemerintah Kabupaten Boyolali telah menyediakan anggaran Rp106 juta untuk mengatasi dampak kekeringan yang digunakan untuk bantuan air bersih ke desa-desa di enam kecamatan rawan kekeringan di antaranya Musuk, Wonosegoro, Kemusu, Juwangi, Cepogo, dan Karanggede.
Pewarta: Bambang Dwi Marwoto
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2015