Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah optimistis program Sejuta Rumah yang menjadi salah satu andalan pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla bisa tercapai dan mengatasi program "backlog" atau kekurangan rumah di berbagai daerah di Tanah Air.
"Pemerintah optimis kalau tahun 2015 sejuta rumah bisa tercapai. Dimana 600 ribu unit untuk MBR dan sisanya untuk komersial," kata Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Maurin Sitorus dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Dia mengakui bahwa tantangan yang ada di bidang perumahan rakyat masih cukup besar antara lain data statistik tahun 2014 menunjukkan bahwa kesenjangan antara kebutuhan dengan penyediaan rumah masih sebesar 13,5 juta unit dari sisi kepemilikan.
Selain itu, lanjutnya, masih terdapatnya 7,6 juta masyarakat yang belum memiliki rumah dan masih ditemui 3,4 juta unit rumah yang tidak layak huni. Bahkan pemerintah juga harus segera mengatasi pemukiman kumuh seluas 38 ribu hektar.
Namun, ia menyebutkan bahwa saat ini program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan dana sebesar Rp 5,1 Triliun telah mampu memfasilitasi sebanyak 76 ribu unit rumah per Juli 2015.
"Hal ini jauh melebihi capaian pada tahun 2014. Apalagi pemerintah telah menurunkan suku bunga kredit hingga 5% flate sepanjang masa angsuran 15 -20 tahun," katanya.
Dirjen Pembiayaan Perumahan juga meyakini bahwa untuk tahun 2016, pembangunan rumah untuk rakyat akan semakin baik.
Sebelumnya, Indonesia Property Watch menyatakan, perubahan aturan "loan-to-value" (LTV) atau proporsi antara uang muka dan cicilan kredit rumah membebani pelaku usaha sektor properti dibanding aturan sebelumnya.
"Aturan mengenai pengaturan LTV dan KPR (Kredit Pemilikan Rumah) Inden yang baru sesuai PBI (Peraturan Bank Indonesia) 2015 menggantikan SE BI (Surat Edaran Bank Indonesia), 2013 dinilai banyak pihak malah memberatkan pergerakan sektor properti," kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda.
Indonesia Property Watch menilai pelonggaran LTV untuk KPR Pertama yang dulu 70 persen kini diubah menjadi 80 persen membuat para konsumen bisa memiliki properti dengan hanya besaran uang muka lebih kecil dibandingkan sebelumnya.
Namun hal tersebut, lanjutnya, tidak berdampak signifikan untuk menggenjot penjualan karena sebelum dibuat pelonggaran ini pun para pengembang sudah melakukan strategi masing-masing untuk meringankan uang muka konsumen.
"Bisa dengan cicilan uang muka atau cash back dari pengembang yang seakan-akan membayarkan dulu uang muka konsumen. Namun sebenarnya yang menjadi permasalahan adalah mengenai aturan KPR Inden yang malah diyakini memberatkan para pengembang," paparnya.
Ia menjelaskan, KPR Inden merupakan bentuk pembiayaan yang saat ini dipilih oleh pengembang untuk dapat memperoleh biaya pembangunan rumah sebelum rumah selesai.
Aturan KPR Inden yang dulu hanya mensyaratkan adanya buy back guarantee yang merupakan pernyataan dari pihak pengembang sebagai jaminan. Namun saat ini aturan tersebut diperluas jaminannya menjadi dapat berbentuk aset tetap atau aset bergerak.
Menurut dia, ketentuan tersebut akan memukul tidak hanya pengembang besar melainkan sangat pengembang menengah dengan modal tidak terlalu besar karena mereka harus memberikan jaminannya juga kepada bank melalui escrow account sedangkan sebenarnya jaminan tersebut bisa digunakan oleh mereka untuk memutar usahanya.
Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015