Untuk membantu industri berbasis ekspor, kita butuh investasi asing. Tentunya, akan membutuhkan koodinasi dari BKPM, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan,"

Jakarta (ANTARA News) - Kinerja ekspor Indonesia yang terus mengalami penurunan mencapai 19,23 persen jika dibandingkan dengan tahun 2014 perlu ditingkatkan dengan masuknya investasi asing yang mampu mendorong industri berbasis ekspor.

"Untuk membantu industri berbasis ekspor, kita butuh investasi asing. Tentunya, akan membutuhkan koodinasi dari BKPM, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan," kata Menteri Perdagangan, Thomas Lembong, dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu.

Thomas mengatakan, dirinya telah melakukan pembicaraan dengan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal terkait dengan investasi di sektor apa saja yang bisa mendukung industri berbasis ekspor.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, sektor industri yang bisa dikembangkan karena dianggap memiliki permintaan dunia masih tinggi antara lain adalah industri otomotif, elektronik, produk kayu, tekstil dan produk tekstil, produk logam dan produk kimia.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa kinerja ekspor Indonesia pada Juli 2015 tercatat sebesar 11,41 miliar dolar Amerika Serikat atau mengalami penurunan sebesar 19,23 persen jika dibandingkan dengan Juli 2014 lalu yang sebesar 14,12 miliar dolar AS.

Secara kumulatif, untuk ekspor pada periode Januari-Juli 2015 mencapai 89,76 miliar dolar AS, atau mengalami penurunan sebesar 12,81 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2014 lalu yakni sebesar 102,9 miliar dolar AS.

Pria yang kerap disapa Tom tersebut mengatakan, jika dilihat dari neraca perdagangan Indonesia selama periode Januari-Juli 2015, memang masih mengantongi surplus sebesar 5,7 miliar dolar Amerika Serikat. Namun, surplus tersebut tertolong akibat adanya penurunan impor bukan peningkatan ekspor.

"Jika saya lihat neraca dagang pada tujuh bulan terakhir, sejauh ini memang lebih tertolong dari turunnya impor, bukan dari kinerja ekspor. Tentunya itu hasil dari kondisi global, dimana negara tujuan ekspor kita masih loyo," katanya.

Penurunan ekspor terjadi juga untuk tujuan Tiongkok yang merupakan negara tujuan ekspor terbesar kedua, dimana pada periode Januari-Juli 2014 lalu tercatat ekspor ke Negeri Tirai Bambu tersebut mencapai 10,16 miliar dolar AS, sementara pada periode yang sama di tahun 2015 mengalami kemerosotan sebesar 23,69 persen atau hanya menjadi 7,76 miliar dolar AS.

"Untuk hubungan dagang bilateral dengan Tiongkok, kita harus mempelajari apa saja permintaan mereka. Memang struktur perekonomian Tiongkok berubah drastis dalam waktu yang sangat cepat. Sayangnya, dalam lima tahun ini kita tidak siap," ujar Tom.

Sementara kinerja impor pada Juli 2015 tercatat sebesar 10,08 miliar dolar Amerika Serikat yang juga mengalami penurunan sebesar 28,44 persen jika dibandingkan pada Juli 2014 lalu dimana impor sebesar 14,08 miliar dolar AS.

"Untuk impor, lebih tertekan lagi daripada ekspor. Jika dibilang menggembirakan mungkin kurang tepat, tetapi, dari sisi makro sesuatu yang baik. Penurunan impor terjadi pada semua golongan barang, termasuk barang konsumsi, bahan baku penolong dan barang modal," tambah Tom.

Pada Juli 2015, neraca perdagangan Indonesia mampu mengantongi surplus sebesar 1,33 miliar dolar Amerika Serikat yang merupakan surplus tertinggi sejak 19 bulan terakhir atau sejak Januari 2014 lalu. Surplus tersebut dipicu oleh surplus neraca nonmigas sebesar 2,20 miliar dolar AS, kendati sektor migas masih menyumbang defisit sebesar 870 juta dolar AS.

Secara kumulatif, neraca perdagangan untuk periode Januari-Juli 2015 telah mengantongi surplus sebesar 5,73 miliar dolar AS.

Meskipun neraca perdagangan mengantongi surplus, ekspor Indonesia mengalami penurunan yang cukup besar mancapai 12,81 persen dimana tercatat pada Januari-Juli 2015 ekspor sebesar 89,76 miliar dolar AS, sementara pada periode yang sama tahun 2014 lalu mencapai 102,9 miliar dolar AS.

Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015