"Kalau melihat kondisi ekonomi global cukup dengan (pasal) tindak pidana biasa," katanya di Purwokerto, Jawa Tengah, Sabtu.
Hibnu mengatakan hal itu kepada Antara terkait rencana Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia yang hendak mempidanakan para pelaku penimbunan dengan undang-undang pidana dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Menurut dia, terorisme merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan upaya untuk mengacaukan keamanan negara.
Oleh karena negara tidak dalam kondisi "chaos" atau kacau balau, dia menilai rencana Bareskrim memidanakan pelaku penimbunan sapi dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu sangat berlebihan.
"Saya kira dengan KUHP saja sudah cukup," tegas Gurubesar Fakultas Hukum Unsoed itu.
Dia mengatakan bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sah-sah saja diterapkan kepada pelaku penimbunan sapi jika hal itu dilakukan sebagai bentuk terapi kejut (shock therapy).
Akan tetapi dalam rangka sebagai politik hukum ke depan, kata dia, Bareskrim menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terhadap pelaku penimbunan sapi.
"Saya melihat itu (rencana pemidanaan pelaku penimbunan sapi, red.), dakwaannya subsideritas, pertama menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, kedua menggunakan KUHP. Itulah mungkin yang dibuktikan," katanya.
Menurut dia, penggunaan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terhadap pelaku penimbunan sapi merupakan bagian dari politik negara untuk penanggulangan kejahatan.
"Ini banyak perspektifnya. Sebenarnya tidak masalah menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terhadap pelaku penimbunan sapi, tetapi berlebihan karena seolah sudah dalam kondisi chaos banget," tegasnya.
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015