"Kalau tidak, ya, berarti ada oknum-oknum yang memang agendanya memaki-maki saja, siapapun presidennya. Sudahlah kita lupakan yang begitu, mari membangun semangat kebersamaan untuk maju," kata Ruhut usai menghadiri serah terima jabatan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan dari Tedjo Edhy Purdijatno ke Luhut Binsar Pandjaitan, di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Kamis.
Seraya mengatakan pentingnya kebersamaan antarwakil rakyat dalam menyikapi polemik pasal penghinaan terhadap presiden, koordinator juru bicara Partai Demokrat ini juga meminta semua pihak memahami substansi dari pasal penghinaan presiden.
Menurut dia, pasal penghinaan itu adalah delik aduan, yang hanya bisa diberlakukan jika pihak dirugikan membuat laporan ke pihak berwajib, dan bukan delik hukum biasa, yang bisa langsung memproses seseorang tanpa perlu persetujuan pihak lain.
"Jadi bukan maksudnya bebas tangkap kiri-kanan seperti di masa Orde Baru, di mana kekuasaan jadi panglima. Jika Presiden Joko Widodo merasa dihina, dia bisa melaporkan," tutur Ruhut.
Presiden Joko Widodo sendiri, menurut dia, tidak memasalahkan hal ini karena sifat cari sang presiden. Namun Ruhut mengingatkan Presiden bagaimanapun adalah simbol negara.
"Saya juga pernah dipanggil Pak Susilo Bambang Yudhoyono dan saat itu beliau mengatakan bahwa harus dilihat makna filosofis dari pasal penghinaan presiden. Apakah baik menghina?" tutur dia.
Presiden Joko Widodo mengajukan 786 Pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke DPR RI untuk disetujui menjadi UU KUHP. Salah satunya pasal mengenai Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden yang sudah dihapus Mahkamah Konstitusi pada 2006.
Pasal tersebut tercantum dalam Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang berbunyi: "setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".
Pasal selanjutnya semakin memperluas ruang lingkup Pasal Penghinaan Presiden yang tertuang dalam RUU KUHP, seperti dalam Pasal 264, yang berbunyi:
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh unum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".
Pewarta: Michael Siahaan
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015