Jakarta (ANTARA News) - Berabad yang lalu, penulis dongeng asal Denmark, Hans Cristian Andersen, menulis dongeng untuk anak-anak yang berjudul Prajurit Timah yang Tabah.
Dongeng itu berkisah tentang prajurit timah berkaki satu yang jatuh cinta pada boneka balerina cantik yang sedang menari. Dongeng tersebut dipublikasikan pada 1838 dan terkenal hingga ke penjuru dunia.
Seabad kemudian, dongeng tersebut bukan hanya menjadi pengantar tidur. Prajurit berkaki satu hidup dan bertempur mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Prajurit tersebut menjelma dalam diri Kolonel Infanteri Agus Hernoto, anggota Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) atau yang sekarang menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Prajurit yang tak hanya bisa jatuh cinta, tapi mau mengorbankan jiwa dan raganya untuk negara yang dicintainya. Agus harus merelakan satu kaki kirinya diamputasi demi cintanya pada Tanah Air. Hal itu tertuang dalam buku Bagimu Negeri, Jiwa Raga Kami: Legenda Pasukan Komando Kolonel Inf Agus Hernoto, yang diluncurkan pada awal Agustus.
Buku setebal 212 halaman tersebut ditulis oleh anak kedua Agus Hernoto, yakni Bob Heryanto Hernoto bersama kawan-kawan. Bob mengatakan buku tersebut ditulis untuk memperingati 30 tahun kepergian ayahandanya. Bob berharap kisah ayahnya bisa menginspirasi anak muda untuk mencintai Tanah Airnya.
Agus lahir di Malang, 1 Agustus 1930 dari pasangan Tjokro Soetiksno dan RA Soekapti. Agus merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Meski lahir dari keluarga berdarah biru dan berkecukupan, ia memilih untuk menjadi tentara.
Semasa hidupnya, ia habiskan waktunya untuk mengabdi. Baginya tak ada waktu sedetikpun untuk istirahat, karena ancaman terhadap kedaulatan bangsa bisa terjadi kapan saja tanpa diduga.
Karir militernya diawali ketika bergabung dengan tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di saat usianya menginjak 17 tahun. Beberapa tahun kemudian, berbekal pengalaman dan pengetahuannya dari PETA, dia bergabung dengan RPKAD.
Kiprahnya sebagai penjaga kedaulatan negara diuji dengan berbagai operasi penumpasan gerakan separatis. Dengan mulus, ujian tersebut dilaluinya.
Siapa sangka, penugasannya juga mempertemukan dirinya dengan pujaan hatinya, yang menjadi tambatan hati sepanjang akhir hayatnya, Wirda Bin Yahya. Setelah menikah, ia mengikuti pendidikan para komando di "US Army Special Warfare School" di Fort Bragg, North Carolina, Amerika Serikat.
Dia merupakan satu-satunya perwira dengan pangkat letnan dua, sedangkan rekan-rekan yang dikirim berpangkat kapten dan mayor.
Berbekal pendidikan komando dan pengalaman militer yang didapatnya selama operasi penumpasan gerakan separatisme di Tanah Air, membuatnya dipercaya menjadi Komandan Tim Banteng Ketaton yang diterjunkan di kawasan utara Fak-Fak, yang sebagian besar adalah hutan perawan dengan kondisi geografis yang berbahaya pada saat Trikora.
Operasi itu dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian tentara Kerajaan Belanda yang ketika itu menguasai Irian Barat. Pada saat diterjunkan, 26 April 1962, Agus memimpin sekitar 50 pasukan pilihan gabungan antara RPKAD dan Pasukan Gerak Tjepat dari TNI AU.
Medan berat disertai meningkatnya intensias kotak senjata dengan musuh yang dihadapi pasukannya kala itu, membuatnya rela mengorbankan diri agar anak buahnya selamat.
Dengan kondisi terluka parah pada bagian punggung dan kaki kiri, ia dibawa ke Sorong. Alih-alih mendapatkan pengobatan, justru ia menerima penyiksaan. Hari-harinya diisi dengan penyiksaan.
Agus disiksa untuk memberikan informasi terkait dengan operasi besar-besaran yang dipimpin sahabatnya, Benny Moerdani. Akan tetapi, ia tetap bungkam dan memilih untuk mati daripada memberikan informasi itu.
Setelah bersikeras untuk bungkam, kaki kirinya dibiarkan membusuk hingga belatung keluar dari sela-sela luka dari peluru yang masih bersarang di kakinya. Tidak ada pilihan lain, akhirnya kaki kirinya harus diamputasi dengan peralatan medis seadanya.
Pengalaman pahit ketika kehilangan kaki kirinya, tak membuatnya patah arang, justru semangatnya dalam menjaga kedaulatan NKRI semakin membara. Sekembalinya, ke Jakarta, Agus mendapatkan piagam anugerah Bintang Sakti dari Jenderal TNI AH Nasution, namun ditolak dan sebagai gantinya ia meminta untuk mengizinkannya menjadi tentara aktif.
Tanpa Kaki
Selepas kehilangan kaki kirinya, ia meneruskan karir tentaranya sebagai perwira umum logistik atau kerap dikenal dengan Dandenma pada unit khusus "Opsus" di bawah Komando Presiden Soeharto dan sebagai pelaksananya adalah Mayor Jenderal TNI Ali Moertopo.
Di unit itu, Agus menjadi motor penggerak sekaligus tangan kanan Ali Moertopo. Semua urusan yang mendukung setiap kebutuhan operasi harus tersedia.
Kala itu, Opsus sangat vital dalam mengembalikan perekonomian, sosial, hubungan diplomasi dan budaya yang carut-marut pascakejadian G30S/PKI. Sehingga diperlukan dana yang sangat besar dalam memulihkan berbagai sektor.
Berkat pengalaman yang didapatkannya ketika melakukan penumpasan gerakan separatisme, Agus menggalang dana demi tercapainya setiap kebutuhan pada operasi Opsus.
Perannya tak hanya mencari dana untuk kebutuhan unitnya, tetapi ia selalu mendapatkan kepercayaan untuk terjun langsung melakukan kegiatan intelijen, seperti saat dikirim untuk melakukan Operasi Komodo, yakni operasi persiapan serangan Seroja di Timor-Timur. Agus ditunjuk langsung oleh Kepala BAKIN saat itu Letnan Jenderal TNI Yoga Soegama untuk mencari informasi mengenai keberadaan pos-pos musuh dan menentukan "dropping zone" yang aman.
Berkat informasi yang tepat saat itu, Timor-Timur memilih berintegrasi dengan Ibu Pertiwi dibandingkan merdeka.
Agus adalah bukti, bahwa keadaan fisik yang kurang sempurna bukan alasan untuk menghentikan langkahnya dalam menjaga kedaulatan negara.
Selama hidup, ia selalu mengabdikan diri untuk bangsa dan negara bahkan sampai lupa bahwa ia merupakan manusia yang memiliki batas dan butuh istirahat. Sampai detik terakhir dalam hidupnya pun, ia masih menjalankan tugas sebagai tentara.
Karakter
Mantan Komadan Pusat Pasukan Khusus (Danpuspassus) AD (saat ini Danjen Kopassus) Jenderal TNI (Purn) Widjoyo Soejono tak meragukan keberanian dari Agus.
"Pak Agus satu-satunya yang langsung menawarkan diri ketika ditanya komandan siapa yang mau memimpin pasukan untuk diterjunkan ke Irian Barat," kenang Widjoyo.
Agus juga merupakan perwira yang berkarakter, hormat kepada atasan, ramah terhadap kolega dan mengayomi anak buahnya.
"Dia penuh perhitungan dalam melaksanakan operasi militer. Selalu siaga dan siap menjalankan perintah. Dia bukan pribadi yang pesimistis, dia selalu optimistis. Orang optimistis itu pemberani, kalau di Kopassus hanya prajurit yang memiliki keberanian yang bisa bertahan," katanya.
Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri mengatakan Agus merupakan orang yang menguasai teknik peledakan yang berisiko.
Pertama kali mengenal Agus, Kiki mengaku heran melihat cara berjalannya agak pincang dan tidak pernah menggunakan pakaian tentara.
Saat itu pertempuran antara pasukan UDT yang dipimpin Lopez Da Cruz melawan Fretelin. UDT kalah persenjataan maka di sana mereka kalah, pada 19 September 1975. Lalu, Fretelin berhasil menguasai wilayah Batu Gade.
"Pak Agus saat itu dengan gagah berani melakukan rekayasa peledakan dengan menggunakan jerigen besar berisi TNT seberat 25 kilogram dan dipasang sumbu di atasnya. Bom itu diledakkan dengan cara membakar sumbu dari helikopter lalu dilempar ke bawah, ke arah musuh," katanya.
Kiki mengaku kagum dengan tindakan Agus tersebut. Meski cacat, tapi mampu menjalankan operasi militer di lapangan serta menguasai teknik peledakan.
"Tindakan tersebut sangat berbahaya, ketika menyalakan sumbu dari helikopter dan dilempar ke bawah dapat membahayakan dirinya sendiri yang berada di atasnya," kenang dia.
Kiki mengaku termotivasi dan mempunyai pengaruh besar dalam membentuk jiwa kemiliterannya menjadi lebih baik.
"Hal ini sering saya terapkan di lapangan dalam menjalankan tugas sebagai komandan kompi dan batalyon di Timtim. Saya selalu teringat sosok Pak Agus yang pemberani itu, khususnya jika sedang tugas di hutan Timtim. Keteladanan Pak Agus selalu melekat pada saya," kata Kiki.
(I025/M026)
Oleh Indriani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015