... tiba di sana mencari bahagia, mendapatkan kebahagiaan, dan tidak ingin menukar kebahagiaan itu...
Jakarta (ANTARA News) - Pertama kali menginjakkan kaki di Kecamatan Tosari, Pasuruan, Jawa Timur, tahun lalu, sosok Lyda Amalia (21) sempat diragukan masyarakat setempat sebagai seorang bidan. Ini sisi lain kemerdekaan Indonesia yang jarang dilihat orang. Kita akan memeringati 70 kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2015.


Perawakan Lyda bisa dikatakan tak seperti perawakan para bidan lain di kawasan dengan ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut itu. Dia memiliki berat badan cuma 49 kg dengan tinggi badan sekitar 155 cm. Sementara bidan lain memiliki berat dan tinggi badan di atas itu.


Beberapa orang di sana sempat bergumam bahwa tubuh Lyda tergolong kecil untuk ukuran seorang bidan.


"Ibu-ibu di sini sempat mengira umur saya belum 20 tahun. Saya juga diragukan, bukan bidan. Bahkan dari bidan senior, ini anak fresh graduate bisa apa ya. Kecil ya, jadi disangka bukan bidan. Ibu-ibu di sana malah tertawa, namun mereka pun menjadi terbuka," tutur Lyda, saat ditemui www.antaranews.com, di Jakarta, Selasa.


"Hanya, saya berusaha mengabaikan. Ini bukan untuk dinilai orang lain. Saya tugas di sini, untuk mencari bahagia, saya tidak peduli omongan orang, saya hanya ingin membantu," tambah perempuan asal Garut, Jawa Barat, itu. Selain perawakan, usia Lyda pun masih tergolong muda.


Namun, siapa sangka, dari candaan itu, Lyda perlahan mulai diterima dan dikenal masyarakat setempat dan bidan lainnya yang terlebih dulu bertugas di Tosari.


Takjub pada pengalaman pertama persalinan Lyda berkisah, sehari setelah kedatangannya, dia menerima pasien pertamanya. Saat itu, dia merasa takjub karena sang ibu memiliki intensitas ambang nyeri yang jauh lebih tinggi dibandingkan masyarakat perkotaan pada umumnya.


"Selama saya menjalani masa pendidikan, lalu berprofesi sebagai bidan, saya tahu ibu yang akan melahirkan, di pembukaan empat sudah merintih kesakitan. Sementara di sini, ibu baru merintih saat pembukaan hampir lengkap atau bahkan lengkap," tutur dia.


Rasa takjub Lyda bertambah saat menyadari para bayi yang baru lahir di Tosari bahkan mampu menahan rasa dingin yang menurut dia ekstrim. Kehadiran Lyda di Tosari bagian dari Program Pencerah Nusantara (PN).


Program ini terobosan yang diinisiasi Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Millennium Development Goals (KUKP-RI MDGs) yang bertujuan memperkuat pelayanan kesehatan primer melalui penempatan generasi muda di daerah perifer di Indonesia.


Menurut dia, walau masyarakat di Tosari sekalipun 95 persen berprofesi sebagai petani dan masih mempercayai dukun anak, namun berpikiran terbuka. Termasuk soal kesehatan ibu dan anak. Para ibu hamil secara rutin memeriksakan kehamilannya pada bidan-bidan desa, tidak ke dukun. Namun, bukan berarti peran dukun hilang.


"Kalau memeriksakan kehamilan saat ini mereka sudah mau pergi ke bidan. Saya jarang menemukan mereka yang periksa ke dukun. Karena, dukun di sini sudah menjadi mitra bidan dan puskesmas. Setiap persalinan, sekalipun masyarakat masih banyak yang percaya pada dukun, tetapi harus ada bidan dan dukun," ungkap Lyda.


Masyarakat di sana hampir seluruhnya menganut agama Hindu dan menjalani ritual dalam agamanya secara taat. Termasuk menyalakan dupa saat persalinan tengah berlangsung.


"Lalu saya jelaskan pelan-pelan agar ritualnya dilakukan tak terlalu dekat dengan ibu karena khawatir menjadi sesak nafas. Alhamdulillah, mereka mau menerima, mau terbuka," kata dia. Bagi dia, tradisi masyarakat setempat tak menjadi kendala bagi pelayanan kesehatan di sana.


Kendala justru muncul dari sisi akses menuju fasiltas kesehatan, yakni alur rujukan karena transportasi umum yang belum masuk ke desa.

Selain itu, jumlah tenaga kesehatan yang terbatas juga menjadi kendala pelayanan kesehatan di Tosari.


Dia tiba di sana mencari bahagia, mendapatkan kebahagiaan, dan tidak ingin menukar kebahagiaan itu. Lyda mengatakan, lebih dari sekedar materi, dia ingin mencari kebahagiaan.


Kebahagiaan yang menurutnya bisa didapatkan dengan cara membantu persalinan masyarakat di kawasan terpencil. Sekalipun dia harus berkorban rasa rindu pada sanak keluarganya di Garut.


Dia bahkan bertekad akan terus melanjutkan baktinya pada masyarakat di masa mendatang. Lagi dan lagi, seakan keputusan ini membuatnya kecanduan.


"Saya diingatkan ayah, jangan memandang soal gaji, tetapi yang penting teteh bisa makan. Saya benar-benar ditekankan, uang itu bukan segalanya. Karena kebahagiaan itu bukan dari kaya raya. Saya tidak mencari kaya raya, tetapi bahagia. Kalau saya tukar bahagia ini dengan uang, kecil sekali uangnya," kata dia.


Perempuan berjilbab itu menambahkan, turun langsung ke masyarakatlah yang sebetulnya bisa membuka mata soal kondisi sesungguhnya masyarakat itu sendiri. Menurut dia, berbagai permasalahan di sana sebenarnya bisa diselesaikan bila saja pembuat kebijakan mau menengok "ke bawah".


Atas dasar itulah dia berusaha untuk tetap berada di jalur yang ia jalani saat ini, menjadi penggerak.


"Bagi saya itu tantangan. Saya juga senang berada di antara komunitas-komunitas, blusukan-blusukan, saya bisa menemukan kasus baru dengan cara seperti ini. Saya bertemu masyarakat. Senang sekali," kata dia.


"Ingin kembali lagi, menjadi penggerak. Sebetulnya menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia dari atas itu tidak bisa, tidak kelihatan apa-apa. Abstrak. Kita tidak akan bisa kalau tidak terjun ke bawah. Masalah di bawah itu kompleks, tetapi solusinya mudah asalkan sesuai dengan karakteristik masyarakatnya," tambah dia.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015