"Kami yang pernah merantau, hidup jauh dari rumah, merasa bahwa merantau itu meluaskan cakrawala dan mengubah hidup. Kami menjadi lebih toleran justru karena kami pernah menjadi minoritas," ujar dia, di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, memahami toleransi tak hanya sebatas membaca buku saja, tetapi harus mengalaminya sendiri.
"Karena memahami toleransi tidak bisa hanya dengan membaca buku PPKn saja.
Toleransi itu harus dialami. Harus dirasakan," kata perempuan yang pernah mengajar selama beberapa waktu di wilayah Halmahera Selatan, Maluku Utara itu.
Kemudian, lanjut dia, ketika kelak orang yang pernah mengalami hidup menjadi minoritas, lalu berada pada posisi mayoritas, maka ia cenderung tak akan menindas.
"Ketika kelak saat dia berada di mayoritas dia tidak akan menindas," tutur Dewi.
Selain itu, anak-anak muda Indonesia juga perlu didorong berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda dengannya, agar lambat laun akan tumbuh rasa kebhinnekaan yang berujung pada terciptanya perdamaian.
Dia mencontohkan, sekitar 40 anak yang pernah ikut dalam program yang dia canangkan, membuktikan hal ini.
Mereka yang berasal dari berbagai etnis, wilayah, dan agama dipertemukan lalu diajak berinteraksi secara nyata, melalui program pertukaran pelajar.
Hasilnya, lebih dari sekedar toleran, anak-anak ini bahkan mampu memberikan dampak bagi lingkungannya, misalnya berani membangun perpustakaan di desanya, atau bahkan berani berbicara di depan ratusan pemuda desanya soal toleransi.
"Anak-anak yang berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda, akan merasa lebih percaya diri, lebih peduli dan bahkan ketika pulang menjadi penggerak bagi lingkungannya," pungkas Dewi.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015