... jadi tidak keren atau intelek kalau memakai bahasa Indonesia? Mengapa jadi campur-campur?...
Jakarta (ANTARA News) - Istilah bahasa asing kerap ditemui dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam percakapan lisan mau pun tulis. Saat membeli barang di toko dalam jaringan (online), kerap ditemui istilah asing itu, di antaranya order form, shipping, atau pre-order yang sebenarnya memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia, yakni “formulir pemesanan”, “pengapalan” dan “pemesanan awal”.


Dalam beberapa hari lagi Indonesia akan genap berusia 70 tahun, suatu usia kemerdekaan yang sebetulnya lumayan panjang dengan berbagai perkembangan dan fenomenanya. Iya, Indonesia akan memeringati HUT ke-70 kemerdekaannya pada 17 Agustus 2015 ini.

Di tengah peringatan kemerdekaan Indonesia itu, ada beberapa pertanyaan yang bisa diajukan dalam alam pikiran kritis. Mengapa (banyak orang Indonesia) memilih istilah asing yang memiliki padanan kata dalam bahasa kita sendiri? Apakah penggunaan bahasa Indonesia meluntur? Apakah jadi tidak keren atau intelek kalau memakai bahasa Indonesia? Mengapa jadi campur-campur?

Pengajar Studi Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Tommy Christomy, mengatakan, bahasa Indonesia adalah salah satu keajaiban karena dipakai semua kalangan, baik minoritas maupun mayoritas sebagai pemersatu di antara keberagaman.


Jikalah tidak memilih memakai bahasa asing sebagai bahasa pemersatu dan tetap memakai bahasa daerah masing-masing, bisa dibayangkan kalau tidak ada bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia...


Bahasa Indonesia terus hidup dan tumbuh serta dipakai di berbagai tingkatan, baik itu formal dan informal.
"Saya tidak khawatir dengan bahasa yang tumbuh di masyarakat karena itu bagian dari dinamika," ujar dia.

Perubahan seperti itu membuat masyarakat tidak bisa menolak hadirnya bahasa baru, misalnya bahasa alay. Istilah baru pun kerap muncul di berbagai generasi, mulai dari istilah kepo (ingin tahu mengenai sesuatu), woles (kata selow dari bahasa Inggris slow yang dibalik) berarti santai, hingga baper yang merupakan singkatan dari bawa perasaan.

Dibandingkan dengan bahasa Melayu, pertumbuhan bahasa Indonesia lebih pesat karena disusupi bahasa daerah, bahasa kontemporer, bahasa kelompok atau bahasa asing yang memperkaya komunikasi sehari-hari. Apalagi, Indonesia memiliki lebih dari 800 etnis dengan beragam bahasa.

Salah satu contoh kata serapan dari bahasa daerah adalah nyeri yang diambil dari bahasa sunda. Alumnus Fakultas Sastra UI Jurusan Indonesia yang lulus pada 1986 itu mengatakan kata nyeri menambah gradasi lain dari mengekspresikan kategori berbeda dari rasa sakit.

“Dalam bahasa melayu hanya ada kata sakit, sakit dicubit, atau dipukul hanya bisa diekspresikan dalam kata sakit, tidak ada istilah lain,” kata peraih gelar Master of Art dari Program Pasca Sarjana UI Program Studi Susastra pada 1992.

Contoh lain adalah kata ember berkembang dari tempat air berbentuk silinder menjadi kata lain dari persetujuan atas suatu pernyataan. Ember di sini diduga berasal dari kata emang yang berawal dari kata memang.

“Nasi gorengnya enak ya!”
Ember!”

“Di Indonesia serapan bahasa daerah banyak sekali, ada juga pengaruh bahasa asing masuk. Karena di Malaysia tidak berkembang dengan bahasa daerah, maka lebih banyak serapan Inggris.”

Tommy menuturkan, kawannya dari Malaysia mengaku sulit menyampaikan konsep mendasar tentang ilmu pengetahuan hanya dalam bahasa Melayu. Namun, hal yang sama tidak berlaku di Tanah Air.

“Di sini sangat memungkinkan memakai bahasa Indonesia untuk membicarakan hal ilmiah yang rumit, misalnya penyakit. Mengapa? Karena banyak kata serapan,” ujar peraih gelar Doktor dari The Australian National University, Program Southeast Asian Studies pada 2002.

Dia enggan menghakimi apakah banyaknya serapan kata asing merupakan tanda bahasa Indonesia mulai meluntur di tengah masyarakat. Ketika bahasa Indonesia digantikan dengan padanan dalam bahasa lain, bisa jadi karena masyarakat merasa tidak ada kata dalam bahasa Indonesia yang bisa mengekspresikan apa yang dimaksud.

“Yang tidak bagus itu kalau ada padanan kata dalam bahasa Indonesia dan masih terekspresikan tapi tetap pakai padanan bahasa asing,” kata pria yang menjadi pengajar di UI sejak 1988 itu.


Itulah dia pre-order (pesanan awal), request (permintaan), amazing (hebat, menakjubkan), launching (peluncuran), eruption yang diucapkan dengan menggampangkan, semata-mata erupsi (letusan), dan lain sebagainya.


Belum lagi nama-nama jabatan pada kartu-kartu nama yang sering kita terima dari kenalan; padahal perusahaan di mana mereka bekerja adalah perusahaan Indonesia belaka.


Jika Anda bersua dengan seorang pengusaha Jepang --sebagai misal-- kartu namanya akan bolak-balik, di satu sisi bertuliskan nama, alamat, dan jabatan serta informasi lain dalam huruf Latin alias Romawi; di sisi sebaliknya dalam huruf dan bahasa ibunya, bahasa Jepang.

Kendati demikian, menyelewengkan bahasa juga sah-sah saja bila ada tujuan tertentu, misalnya dalam industri kreatif.

Tommy mengatakan ada yang lebih merisaukan dan harus segera dibenahi, yakni implementasi penggunaan bahasa Indonesia formal yang diatur dalam UU Nomor 24/2009. Dia menegaskan, aturan soal bahasa Indonesia dalam UU Nomor 24/2009 itu harus dilaksanakan.

“Dokumen pemerintah, pidato pejabat dan semua pihak terkait institusi negara adalah mereka yang harus menggunakan bahasa Indonesia. Namun kenyataannya tidak semua terlaksana,” ujar dia.


Ada program kerja resmi pemerintah yang diberi nama Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia alias Rencana Induk Percepatan Pembangunan Indonesia. Belakangan media massa menerima pemakaian istilah Rencana Induk Percepatan Pembangunan Indonesia.


Justru pemerintah yang memberi contoh penerapan bahasa campur-campur itu untuk kegiatan pemerintahan yang resmi.

Menurut UU Nomor 24/2009 itu, bahasa Indonesia juga wajib digunakan untuk nama geografi di Indonesia, juga dalam penamaan bangunan, gedung, jalan, lembaga usaha, permukiman, perkantoran, atau organisasi milik warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

Tempat-tempat itu dapat dinamai dengan bahasa daerah atau asing bila memang memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat atau keagamaan yang terkait.

“Sekarang, banyak tempat publik dan ruang umum yang dinamai tidak sesuai ketentuan undang-undang itu,” komentarnya.

Dia menyebut nama pemakaman elit San Diego Hills Memorial Park, di Karawang, Jawa Barat. Demi kepentingan pemasaran?

“Mengapa pilihan utamanya bahasa Inggris? Memang tidak ada bahasa lebih halus dari kuburan? Kenapa tidak pakai nama ‘taman makam’ seperti pada ‘Taman Makam Pahlawan’?”

Penamaan tempat publik dalam bahasa Indonesia dinilai lebih gencar dilakukan oleh pemerintah masa lampau.

“Soekarno dulu bikin mal, namanya Gedung Sarinah. Itu perlu keberanian. Dia seorang yang paham ideologis kebangsaan,” kata dia.

Tommy membandingkan dengan negara lain seperti Korea dan Jepang yang tetap mempertahankan bahasa mereka di berbagai tempat, termasuk menu restoran.

“Kita tidak paham apa yang mereka tulis tapi mereka tetap percaya diri. Menu juga mau mengerti atau tidak ya ini menu kita, kalau kamu tidak mengerti ya salah kamu,” kata dosen yang pernah mendapat penghargaan tenaga akademik UI berprestasi dalam riset dari DRPM-UI pada 2006.

Tommy bercerita tentang Cia-cia, bahasa di Pulau Buton, Sulawesi, yang mengadaptasi alfabet Korea (hangul) untuk menuliskan bahasa daerah mereka karena mereka tidak memiliki huruf sendiri.

“Entah dengan inisiatif siapa masyarakat dan elit setempat minta diajari bahasa Korea dan karena mereka tidak punya huruf setempat, mereka mengambil huruf Korea dan diterapkan di nama jalan,” kata Tommy yang pernah mendatangi tempat tersebut bersama profesor asal Korea.

Dia mengatakan UU sudah jelas menyatakan bahwa urusan resmi berkaitan martabat bangsa harus menggunakan bahasa resmi. Sementara di Pulau Buton, justru huruf Korea yang dipakai untuk membahasakan bahasa setempat.

Khan jauh banget loncatannya, kenapa tidak ke yang di sekitarnya, kan banyak huruf-huruf yang dekat, Makassar punya huruf, Melayu juga, Jawa juga, kenapa harus Korea?” kata pria yang pernah tiga tahun mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.

“Ini bukan persoalan suka tidak suka, tapi politik bahasa. Kalau menyangkut politik, yang sudah ditetapkan harus diikuti," kata dia. Mengikat suatu komunitas melalui penetrasi produk budaya, dalam hal ini bahasa ?

Begitu pula dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan nasional. Satu mata pelajaran yang tujuannya bukan untuk menambah kemampuan bahasa asing harus disampaikan dengan bahasa Indonesia.

“Kecuali sekolah swasta yang merupakan waralaba pihak lain di luar negeri, belajar pakai bahasa Inggris ya masuk akal,” kata dia.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015