Jakarta (ANTARA News) - Kondisi relatif utuh potongan sayap yang terdampar di Pulau La Reunion di Samudera Hindia, lepas pantai timur Afrika, menunjukkan Boeing 777 Malaysia Airlines MH370 mungkin menghujam permukaan air dalam kecepatan yang lebih lembut dibandingkan perkiraan sebelum ini yang menyatakan pesawat itu jatuh keras menghantam samudera.

Asumsi ini disampaikan oleh dua mantan penyelidik Badan Keselamatan Transportasi Nasional Amerika Serikat (NTSB) Greg Feith dan Jim Wildey, serta Hans Weber, presiden perusahaan konsultan penerbangan Tecop International.

"Bagian (puing yang ditemukan di La Reunion) itu masih utuh. Tidak hancur," kata Feith, mantan penyelidik senior NTSB, melalui telepon dari Denver, AS.

"Anda bisa menyimpulkan pesawat itu menabrak (samudera) dalam energi rendah atau berusaha didaratkan (di permukaan air) dalam energi rendah," sambung dia seperti dikutip laman harian Australia, Sydney Morning Herald.

Beberapa jam lalu Perdana Menteri Malaysia Najib Razak memastikan bagian sayap yang disebut flaperon yang terdampar di Pulau La Reunion adalah memang berasal dari MH370 yang jatuh tenggelam di Samudera Hindia tahun lalu.

Pernyataan itu tidak membuat para penyelidik dan keluarga korban MH370 memahami mengapa pesawat itu berbelok dari rute semula Kuala Lumpur ke Beijing dan apa yang telah terjadi pada saat-saat terakhir penerbangan pesawat itu.

Tidak ada bukti tegas mengenai sudut di mana pesawat itu menabrak samudera, apalagi memastikan apakah saat itu pilot masih mengendalikan pesawat. Jatuh karena stall dalam kecepatan tinggi, seperti terjadi saat Air France Penerbangan 447 menghujam Samudera Atlantik pada 2009, bukanlah satu-satunya cara sebuah pesawat bisa tenggelam ke laut.

"Spekulasi-spekulasi di kalangan pilot saat ini adalah pesawat itu tampaknya turun pada sudut relatif dangkal," kata Tracy Lamb, konsultan keamanan penerbangan dan mantan pilot Boeing 737. "Sepertinya flaperon terlepas karena robeknya bodi mesin saat pesawat terseret ke air pada hantaman pertama (pesawat ke permukaan air)."

Kendati lamban, pesawat komersial sangat bisa melayang dalam jarak cukup jauh tanpa menghidupkan mesin. Contohnya, setelah burung-burung masuk ke mesinnya di atas Bronx, New York, pada 2009, pesawat US Airways Penerbangan 1549 bisa berbelok dan menerbangi dua pertiga luas Pulau Manhattan sebelum didaratkan di Sungai Hudson.

Dalam kecelakaan 2001, sebuah Airbus A330 yang tengah menerbangi rute Toronto - Lisbon kehabisan bahan bakar di atas Samudera Atlantik dan melayang sejauh 144 kilometer sebelum mendarat 19 menit kemudian di sebuah lapangan udara dekat pantai Kepulauan Azores.

Ini mungkin menjelaskan alasan mengapa pencarian dasar laut MH370 tidak berhasil menemukan bukti apa pun tentang pesawat itu di daerah terdekat dari zona di mana pesawat ini persisnya telah kehabisan bahan bakar, demikian Sydney Morning Herald.

Dikendalikan pilot

Skenario itu yang mungkin mendorong radius pencarian MH370 kini diperluas untuk menjangkau kemungkinan tabrakan energi rendah pada sudut yang lebih dangkal.

Skenario seperti ini akan membantu menjelaskan mengapa tidak ada puing yang terangkat ke permukaan samudera, kata Weber dari Tecop.

"Menurut saya, tidak mungkin pesawat ini jatuh dengan bagian hidung pesawat hidup terlebih dahulu, karena bagian ini terlalu besar dan utuh," lanjut Weber.

Sebaliknya jatuh menabrak laut dalam energi atau kecepatan tinggi tidak memecah pesawat menjadi objek-objek besar seperti flaperon yang ditemukan di La Reunion: "Jatuh tercebur seperti itu semestinya membuat pesawat hancur berkeping-keping menjadi bagian-bagian kecil."

Ketiadaan puing-puing pesawat akibat jatuh itu telah membingungkan para penyelidik. Pada berbagai kecelakaan pesawat jatuh di air sebelumnya, selalu ada jejak puing yang mengambang di atas air, kata NTSB dalam lamannya.

Sebagian besar puing itu bisa tenggelam saat pencarian di permukaan laut dimulai di area itu pada sembilan hari setelah pesawat raib.

"Pada masa ini sebagian besar puing yang masih mengapung setelah kecelakaan kemungkinan telah tenggelam atau telah memencar," tulis NTSB. "Kesempatan untuk mencari dan menemukan puing dari permukaan air dengan cepat pupus pada pekan-pekan pertama sejak pesawat jatuh."

Kemungkinan lain untuk menjelaskan mengapa flaperon masih dalam kondisi baik disampaikan oleh Jim Wildey, mantan kepala laboratorium material NTSB.

Bagian-bagian pesawat bisa saja turut memperberat beban kejatuhan pesawat sehingga melindungi sayap, kata Wildey.

Dari foto-foto flaperon yang ada, terlihat ada indikasi tabrakan pesawat ke laut itu berlangsung relatif lembut. "Jika mereka hanya menemukan satu bagian saja, akan terlalu sulit untuk menilai bagaimana kecelakaan itu terjadi," kata Wildey dalam sebuah wawancara.

Tetapi itu tidak menghentikan pilot-pilot dalam menerka kesimpulan untuk rangkaian peristiwa yang telah terjadi.

"Saat ini berkembang spekulasi di kalangan besar pilot dalam industri penerbangan bahwa ada seorang pilot di ruang kontrol (MH370)," kata Lamb.

Seseorang sepertinya berusaha menyesuaikan tingkat di mana hidung pesawat diarahkan ke atas atau ke bawah untuk menstabilkan pesawat dari ketinggian jelajah ke descent (ketinggian daki) sudut dangkal.

Jawaban untuk misteri ini akan tergantung kepada analisis flaperon yang lebih rinci dan akhirnya pada penemuan kotak hitam di suatu tempat di dasar Samudera Hindia sana.

Menurut Weber analisis flaperon bisa menentukan apakah pesawat itu terbang di bawah kendali pilot. "Kedengarannya gila, tetapi tidak satu skenario untuk kecelakaan yang tidak memasukkan aspek gila di dalamnya," tutup Weber.


sumber: Bloomberg/Sydney Morning Herald


Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015