"Persoalan kebinekaan merupakan salah satu isu penting yang menjadi kepedulian pelbagai kelompok sipil dan akademisi, tidak terkecuali Maarif Institute yang memiliki kedekatan kultural dengan Muhammadiyah," kata Manajer Islam dan Media Maarif Institute Khelmy K Pribadi di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu.
Khelmy mengatakan buku ini merupakan kumpulan perkembangan pemikiran dalam Halaqah Fikih Kebinekaan yang melibatkan para ulama dan intelektual Muhammadiyah pada Februari 2015.
Beberapa narasumber akan menjadi pembicara dalam acara tersebut di antaranya Mohd Sabri (Pengajar UIN Alauddin Makassar), Wawan Gunawan Abdul Wahid (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah) dan Ahmad Fuad Fanani (Direktur Riset Maarif Institute).
Sementara itu, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif akan memberikan pengantar dalam diskusi tersebut.
Fikih Kebinekaan, kata Khelmy, adalah sebuah rumusan fikih yang berpijak pada fenomena keragaman di masyarakat. Tujuannya adalah untuk memberikan panduan praktis di kalangan umat Islam Indonesia dalam mendorong hubungan sosial yang harmonis, menghilangkan diskriminasi, memperkuat demokratisasi dan memberikan landasan normatif-religius bagi negara dalam memenuhi hak-hak warga masyarakat secara berkeadilan.
Salah satu hal penting yang dibahas dalam buku ini adalah pandangan Islam dalam memilih pemimpin non-Muslim atau berbeda keyakinan.
Hal ini, kata Khelmy, sangat terkait dengan konsep keumatan yang inklusif. Setiap individu berhak dipilih menjadi pemimpin atau memilih pemimpin. Kesetaraan hak ini tidak dapat dibatasi oleh perbedaan identitas dan latar belakang seperti gender, strata sosial, keagamaan dan etnis.
Islam mengakui kehadiran seorang pemimpin yang berasal dari kalangan minoritas. Fenomena Halija Marding di Minahasa, seorang minoritas Muslim yang menjadi kepala desa di daerah yang mayoritas non-Muslim, adalah fakta yang menarik. Sebaliknya, juga ada fenomena Lurah Susan di Jakarta, kata dia.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015