"Kami semua telah menyepakati keputusan, serta mengklarifikasi isu-isu yang berkembang di masyarakat."

Jakarta (ANTARA News) - Dalam beberapa waktu terakhir masyarakat dibuat resah dengan kesimpangsiuran kabar soal fatwa MUI yang mengharamkan BPJS.

Meskipun Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsudin sendiri telah menampik fatwa haram tersebut, namun reaksi masyarakat tetap beragam.

Pro dan kontra pun tetap berkembang hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun langsung untuk meminta Menteri Kesehatan membahasnya dengan MUI.

Maka rapat bersama antara BPJS Kesehatan, MUI, Kementerian Kesehatan, DJSN, dan Otoritas Jasa Keuangan pun digelar di Jakarta pada 4 Agustus 2015, dan telah memutuskan bahwa proses serta tindakan program BPJS Kesehatan tidak haram.

Keputusan itu sedikit banyaknya telah menepis keraguan masyarakat akan isu haram fatma MUI terkait BPJS.

Namun, usul MUI soal penyempurnaan program tersebut layak untuk terus disuarakan, agar jangan sampai antara kemanfaatan dan kemudharatan BPJS bagi masyarakat justru timpang dengan lebih kecil kemanfaatannya.

Apalagi tujuan BPJS dan Program Jaminan Sosial bagi sebuah negara adalah menciptakan kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya.

Dalam hal ini, maka Indonesia membentuk penyelenggaraan jaminan sosial yaitu BPJS (Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial) untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.

Tujuan ideal itu tak semestinya lekang akibat pro dan kontra fatwa haram yang kini telah ditepiskan.

Tidak Haram
Rapat bersama para pemangku kepentingan terkait BPJS menjadi ajang penyamaan persepsi bagi banyak pihak.

"Kami semua telah menyepakati keputusan, serta mengklarifikasi isu-isu yang berkembang di masyarakat," kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Firdaus Djaelani.

Beberapa keputusan tersebut adalah, pertama telah dicapai kesepahaman para pihak untuk melakukan pembahasan lebih lanjut terkait dengan putusan dan rekomendasi Ijtima Ulama komisi Fatwa MUI se-Indonesia tentang penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan, dengan membentuk tim bersama yang terdiri dari BPJS Kesehatan, MUI, Pemerintah, DJSN dan OJK.

Kedua, rapat bersepaham bahwa di dalam keputusan dan rekomendasi Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan, tidak ada kosa kata Haram.

Kemudian, masyarakat diminta tetap mendaftar dan tetap melanjutkan kepesertaannya dalam program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan.

Dan selanjutnya perlu adanya penyempurnaan terhadap program JKN sesuai dengan nilai-nilai syariah untuk memfasilitasi masyarakat yang memilih program sesuai dengan syariah.

"Langkah selanjutnya akan diproses oleh tim yang sudah dibentuk," tutur Firdaus.

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram pada BPJS terkait indikator bunga, dan mengusulkan untuk mengadakan BPJS kesehatan syariah pada pemerintah.

Sementara itu Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan hingga saat ini BPJS Kesehatan masih menjadi satu kesatuan, sebelum adanya putusan dari tim bersama.

"Adapun nanti BPJS Kesehatan Konvensional atau syariah itu nanti dari hasil kajian tim bersama, saat ini masih menjadi satu serta tetap dilaksanakan," ujar Fahmi.

Model Lain
Model lain pengelolaan dana BPJS pun kemudian banyak diusulkan agar nilai kemanfaatannya tidak eksploitatif dan spekulatif yang kemudian berpotensi mengundang fatwa haram para ulama.

Pengamat Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) Suroto mengusulkan pengelolaan dana program program BPJS menggunakan model koperasi.

"Kalau mau merujuk ke model yang sesuai dengan konstitusi dan tidak mengandung unsur usury atau eksploitatif itu kita sebetulnya punya model koperasi," ucap Suroto.

Ia mencontohkan model serupa itu telah dikembangkan sejak 2014, misalnya, di Amerika Serikat.

Di negeri itu digunakan konsep "Consumer Oriented and Operated Plan ( CO--OP) Health" yang diskemakan sebagai gabungan pengelolaan negara dan masyarakat melalui koperasi.

"Model ini sebetulnya sebagai pengganti dari pengelolaan oleh koperasi penuh yang pernah diperjuangkan oleh Presiden Obama yang dimotori oleh Senator Kent Conrad yang mendapat dukungan dari gerakan koperasi di Amerika Serikat," paparnya.

Sayangnya model itu sempat digagalkan oleh loby kaum Republik, sehingga modelnya digabungkan oleh masyarakat melalui koperasi dengan dukungan pemerintah.

Sedangkan menurut dia, di Indonesia belum ada cetak biru pengelolaan dana BPJS apalagi kekuatan perusahaan asuransi komersial yang cenderung siap menekan pemerintah.

"Itu karena setidaknya mereka bisa berjualan untuk mengisi kelemahan dari konsep BPJS yang dicover pemerintah sepenuhnya," imbuhnya.

Suroto berpendapat di dunia ini ada 3 rezim untuk penyelenggaraan asuransi.

Pertama, di-"cover" oleh anggaran pemerintah sepenuhnya yang bebannya pasti berat. Bahkan untuk negara maju sekalipun.

Kedua diselenggarakan secara komersial oleh swasta dan ketiga adalah model koperasi yang sepenuhnya di kelola oleh masyarakat secara non-profit dan bersifat mutual.

"Terserah kita sekarang ini, mau pakai rezim yang mana. Kalau mau pakai konstitusi sebetulnya yang pas adalah koperasi dengan dukungan pemerintah seperti Amerika Serikat. Bukan seperti BPJS yang ada sekarang ini. Toh undang-undang perasuransian kita tidak jadi menghapus badan hukum koperasi," tegasnya.

Oleh Hanni Sofia Soepardi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015