Lalu keadaannya sudah genting dan memaksa sesuai dengan tafsir yang ada selama ini maka dikeluarkan Perppu."
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie berpendapat penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) merupakan opsi penyelesaian masalah pilkada serentak dengan risiko paling rendah.
"Risiko paling rendah Perppu walaupun saya termasuk kritis, paling nggak suka dengan Perppu," kata Jimly usai rapat di Kantor Presiden Jakarta, Selasa petang.
Menurut dia, penerbitan Perppu akan memberikan solusi kepada tujuh daerah yang hanya memiliki calon tunggal sehingga harus menunda pelaksanaan pilkada pada 2017.
"Kalau ditunda akan membuat masalah dan kemudian hak rakyat diberangus, dan lagi pula 2,5 tahun untuk plt, nanti tidak bisa diambil keputusan sebagai kepala daerah, nanti yang dirugikan seluruh rakyat, ini termasuk kegentingan yang memaksa," kata Jimly yang juga pakar hukum tata negara.
Ia mengakui penerbitan Perppu sering menimbulkan kontroversi tapi tetap harus ada keputusan.
"Harus ada yang mengambil tanggung jawab, kalau tidak ada yang mengambil tanggung jawab itu, semua akan membebankan pada lembaga lain, pada orang lain, repot kita," katanya.
Ia menyebutkan ada kekurangan dan kelemahan dalam membuat dan merumuskan undang-undang. "Waktu dirumuskan undang-undang kan belum kebayang kaya begini, tapi kita harus melihat tujuan yang hendak dicapai apa," katanya.
Menurut dia, Perppu memang fasilitas konstitusional yang dimiliki kepala negara, untuk memberi solusi yang tidak bisa diselesaikan. "Lalu keadaannya sudah genting dan memaksa sesuai dengan tafsir yang ada selama ini maka dikeluarkan Perppu," katanya.
Mengenai opsi perubahan peraturan KPU, Jimly mengatakan akan ada tuduhan bahwa KPU tidak independen jika mengubah aturan yang sudah dibuat dan dilaksanakan.
"Kalau begitu Komisi Pemilihan Umum tidak independen lagi padahal dia adalah lembaga nasional yang harus tetap mandiri," kata Jimly.
Pewarta: Agus Salim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015