Bangui (ANTARA News) - Seorang tentara penjaga perdamaian PBB tewas dan delapan orang lainnya terluka dalam serangan oleh kelompok bersenjata di Republik Afrika Tengah di ibukota Bangui, menurut sumber militer, Minggu.
"PBB melancarkan operasi dengan mengirimkan patroli," setelah kantor kejaksaan Bangui mengeluarkan surat perintah penangkapan mantan pemimpin aliansi pemberontak Seleka, yang merebut kekuasaan pada tahun 2013 sebelum dipaksa untuk mundur tahun lalu, kata pejabat MINUSCA PBB.
"Saat pasukan (PBB) helm biru mendekati daerah itu, mereka menjadi sasaran kelompok bersenjata dan membalas," kata petugas itu, seperti dikutip AFP.
"Ada satu kematian di pihak pasukan helm biru MINUSCA dan sedikitnya delapan orang lainnya ditembak dan terluka ... Sebuah kendaraan PBB rusak parah," tambahnya, tanpa memberikan kewarganegaraan prajurit yang tewas.
Warga di distrik KM5 lokasi terjadinya baku tembak itu mengonfirmasi melalui telepon bahwa baku tembak yang terjadi, telah menyebabkan beberapa warga sipil terluka oleh tembakan.
"Ketegangan tetap tinggi" di daerah itu dengan toko-toko dan pasar ditutup, menurut seorang saksi.
Menteri Keamanan Dominique Said Paguindji mengatakan operasi sedang berlangsung, tanpa mengonfirmasi jumlah korban.
"Setelah tenang dan keamanan dipulihkan ... kami dapat melihat jumlah korban operasi ini," tambahnya.
Kudeta 2013 menggulingkan Presiden Francois Bozize dan mendorong negara itu masuk dalam konflik yang memiliki dimensi agama yang belum pernah terjadi sebelumnya, membagi kawasan Kristen dan Muslim.
Sebagian besar kelompok milisi "anti balaka" Kristen - dibentuk untuk membalas aksi kudeta pemberontak Seleka, yang memicu gelombang pembunuhan, pemerkosaan dan penjarahan.
Republik Afrika Tengah dijadwalkan untuk mengadakan pemilihan umum pada Oktober, tapi pemilihan umum itu telah dimundurkan tiga kali pelaksanaannya sejak bekas koloni Prancis itu bergulat dengan krisis terburuk sejak kemerdekaannya pada tahun 1960.
Ratusan ribu orang telah melarikan diri dari kerusuhan sipil mematikan di negara yang terkurung daratan itu sejak 2013, dengan pemilihan umum yang akan datang dilihat sebagai tes kunci bagi prospek rekonsiliasi.
Awal bulan ini PBB mengatakan pihaknya "terkejut" bahwa pihak berwenang di negara itu berencana untuk melarang pengungsi dari mengikuti pemilihan umum pada Oktober, dengan hampir 200 ribu warga sebagian besar umat Islam terancam kehilangan haknya.
(Uu.G003)
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2015