Jakarta (ANTARA News) - Ketidaktahuan masyarakat cara mendukung ibu menyusui menjadi kendala paling kentara tercapainya bayi mendapatkan ASI ekslusif dari ibunya.


"Kendala paling banyak ialah ketidaktahuan orang soal menyusui. Bagaimana cara mendukungnya. Itulah yang paling banyak kita rasakan," ujar konselor menyusui dari Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Nia Umar, di Jakarta, beberapa waktu lalu.


Lebih lanjut menurut Nia, dari sisi keluarga, misalnya, dukungan yang dibutuhkan ibu terutama dari suaminya. Dia mengungkapkan, hingga kini masih ditemui suami yang cenderung melarang ibu menyusui bayinya, karena alasan khawatir bentuk payudara berubah.


"Keberhasilan seorang ibu menyusui juga dipengaruhi dukungan pasangannya. Kalau suaminya tidak mendukung, nanti payudaranya jelek, kena mitos tuh suaminya," kata dia.


Di samping itu, masyarakat juga perlu memberi dukungan bagi ibu. Hingga kini, menurut Nia, masih ditemui pandangan miring masyarakat jika seorang ibu menyusui di sarana publik semisal publik.


"Ada lagi dari sisi masyarakat, kalau ada yang menyusui di kereta misalnya masih dipandang tak pantas. Padahal kan sebenarnya hanya memberi makan," ungkap dia.


Kemudian, dari sisi tenaga kesehatan yakni informasi soal manajemen laktasi, insiasi menyusui dini (IMD) tak lama setelah melahirkan, informasi melakukan kontak kulit ibu dan bayi selama satu setengah jam lebih setelah ibu melahirkan.


"ASI enggak keluar ujug-ujug kayak air dari keran. Ada rangkaian proses yang harus dikerjakan. Tenaga kesehatan bisa membantu memberikan informasi bahwa setelah melahirkan, ibu melakukan inisiasi menyusui dini, bayinya dengan ibunya skin to skin contact, sampai satu setengah jam lebih," kata Nia.


Lalu, lanjut dia, bila ibu melahirkan di rumah sakit, maka sebaiknya ruangan ibu dan bayi tak perlu dipisah.


"Ibu sama bayinya jangan dipisah, agar ibu bisa menyusui terus. Karena produksi ASI semakin dikeluarkan semakin banyak. Kejadiannya, di rumah sakit atau fasilitas kesehatan, kalau melahirkan bayinya ditaruh di kamar bayi. Produksi ASI bagaimana mau keluar," tutur dia.


Dukungan lainnya, yakni dari sisi pelaku industri. Salah satunya fasilitas cuti melahirkan bagi tenaga kerjanya, yakni hingga enam bulan. "Dari sisi industri yang tidak tahu bagaimana memfasilitasi tenaga kerjanya yang sedang menyusui misalnya melalui mekanisme cuti, seharusnya bisa sampai enam bulan," kata Nia.


"Kalau ASI ekslusif sudah dilindungi undang-undang selama enam bulan, alangkah baiknya kalau undang-undang lain bersinergi melindungi itu. Jadi, cuti maternitas ibu melahirkan bisa diperpanjang," kata dia.


Di Vietnam saja cuti melahirkan sudah enam bulan sejak dua tahun. Dan ternyata hal ini meningkatkan presentase angka pemberian ASI ekslusif.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015