Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagiyo, penyederhanaan izin tidak bisa dilakukan tanpa didahului evaluasi terhadap pelaksanaan prosedur perizinan yang berjalan selama ini serta efektivitas mekanisme pengawasan terhadap izin-izin tersebut.
"Oleh karena itu, penyederhanaan izin lingkungan tidak boleh dilakukan secara gegabah melainkan harus juga mampu meningkatkan efektivitas pengawasan bagi penaatan lingkungan, baik oleh aparat maupun masyarakat terdampak," kata Henri dalam keterangan persnya yang diterima ANTARA News, Jumat.
Henri mengusulkan agar penyederhanaan perizinan lingkungan sebaiknya dimaknai untuk melebur izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Izin PPLH) ke dalam izin lingkungan sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009).
"Rumitnya proses mendapatkan izin lingkungan disebabkan karena PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menambahkan nomenklatur izin baru, yaitu izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Izin PPLH). Padahal, Izin PPLH tidak dikenal dalam UU 32/2009. Jadi pangkal masalahnya ada di Izin PPLH, sehingga Izin PPLH-lah yang harus dicabut oleh Pemerintah," jelas Henri.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI Abetnego Tarigan menyampaikan dalam catatan advokasi lingkungan Walhi, kasus-kasus lingkungan terjadi karena pelaku usaha dan pemerintah menyepelekan proses dan ketaatan dokumen Amdal atau UKL/UPL.
"Banyak kasus Amdal dan UKL/UPL bodong, dibuat dengan data yang tidak benar, mendapat penolakan masyarakat tetapi nyatanya Amdal atau UKL/UPL tetap berlaku. Selain itu upaya penegakan dari pemerintah masih sangat lemah," ungkap Abetnego.
Menurutnya, sejak terbitnya UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, peraturan ini mencoba mengatasi kendala struktural dengan memperjelas dan memperkuat fungsi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui kewenangan pemberian izin, pemantauan, dan pengawasan yang jelas dan itu semua ada diketentuan tentang Amdal dan UKL/UPL.
Namun, lanjut Abetnego, apabila BKPM dan Kementrian PU mengerdilkan aspek lingkungan, maka ini wujud nyata intervensi buruk ke Kementerian LHK. "BKPM dan Kementrian PU tidak memahami postur kebijakan lingkungan yang tercantum dalam UU PPLH sebagai instrumen yang mewajibkan negara untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup. Karena konstitusi kita sudah jelas mengamanatkan bahwa hak atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih adalah bagian dari Hak Asasi Manusia."
"Penyerdehanaan instrumen lingkungan akan mempercepat kerusakan lingkungan yang lebih luas. Polemik penyederhanaan izin lingkungan tentunya harus dipertimbangkan lebih bijak oleh Pemerintah," tambahnya.
Bagaimanapun, Abetnego menilai, keberadaan izin lingkungan dimaksudkan untuk pengintegrasian berbagai izin terkait lingkungan hidup dan sebagai alat pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha/kegiatan.
Pewarta: Monalisa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015