Usia lanjut bukan halangan untuk berkarya bagi Maria Imaculata Nudu, perempuan Sumba yang pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selama 20 tahun di Nusa Tenggara Timur.
"Belum lama ini ada yang minta saya untuk berpasangan mencalonkan diri sebagai wakil bupati, tetapi saya tolak karena saya ini sudah TOP, yaitu tua, ompong dan pikun," kata Ima Nudu, nama panggilannya, yang tertawa ketika menceritakannya.
Ia mengaku awalnya menjalani karir politik karena desakan orang-orang sekitarnya. Tetapi kemudian dia menjalaninya selama 20 tahun, dua periode di tingkat kabupaten di Sumba Barat dan dua periode di tingkat provinsi di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ima Nudu semula bertugas sebagai pengajar di Sekolag Guru (SG) dan kemudian Sekolah Guru Agama (SGA) serta aktif dalam organisasi Wanita Katolik di Kota Weetabula (kini ibukota Kabupaten Sumba Barat Daya). Ia kemudian bergabung ke Partai Golkar untuk menjadi wakil rakyat.
Selain berkiprah sebagai guru dan wakil rakyat, Ima Nudu juga dikenal gemar menulis syair sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Kegemarannya itu berlanjut hingga kini, ketika aktivitasnya tinggal menemani suami yang masih berdagang palawija serta putra-putri dan sejumlah cucu.
"Saya sering diminta menulis syair untuk dibawakan pada pelantikan pejabat, melepas orang yang 'berpulang' menuju tempat 'istirahat terakhir'," katanya.
Syairnya bagaikan catatan sejarah, suatu ciri khas orang Sumba yang selalu menyusun narasi dari setiap peristiwa dan upacara pada pusaran hidupnya
Pada Mei 2007, dia menulis puisi berikut ini untuk pelantikan seorang pejabat di Weetabula.
SELAMAT DATANG
Selamat datang di bumi ini, selamat menjejakkan kaki di tanah berkapur
Izinkanlah bahumu buat kami lampirkan kain ini
Walau gampang luntur tersapu air, meski mudah pudar disengat terik tetapi sarat simbol dan ajakan untuk memintal; dan menenun kehidupan mengandung kesungguhan tekad, kesabaran hati, kearifan budi dan ketekunan... ha ha
Sehari seutas benang jadilah selembar kain, kuberi puan ini mengajakmu mengunyah dan memamah sirih-pinang. Pemberian datu biar menjadi sumsum dan darah yang mengalir di tubuhmu, sebab dalam darahmu dan darah kami, di uratmu dan di urat kami ada getar dan detak nadi, dalam irama perjuangan untuk membangun tanah ini, untuk mempertahankan keutuhan dan kesatuan bangsa serta menegakkan demokrasi. Cintamu pada demokrasi ibarat cemara yang tidak patah diterjang angin, tidak kering biar kemarau menerpa bahkan salju pun tak mampu mengubah warnanya yang hijau
Hijau mengandung harapan, harapan membuahkan kenyataan
Kenyataan!!!
Berjuanglah Bapa, ke bintang berbinar, tujukan pandang ke tanah subur injakkan kaki mengembang masa, mengembang bagaikan kipas terbuka, bersinar waktu yang datang bak syamsu timbul di ufuk, minumlah sinar, hiruplah hidup cinta dan cita-citamu luhur, jadilah berkat bagi yang lain.
Syair-syairnya juga menggambarkan adat kebiasaan masyarakat setempat, misalnya memberi hadiah kain tenun dengan menyampirkannya langsung ke bahu tetamu seperti yang ditulis dalam bait pertama, kemudian juga tradisi makan sirih-pinang.
Ima Nudu juga memaknai adat menenun sebagai suatu lambang kesabaran yang juga diperlukan bagi seorang pejabat dalam menjalankan tugasnya.
Peter A. Rohi, seorang wartawan senior asal NTT, pernah menyatakan bahwa catatan sejarah amat langka di banyak wilayah NTT, tetapi sejarah tersebut dapat didengar melalui syair-syair yang dilantunkan dalam berbagai upacara.
Ima Nudu, yang sudah pensiun sebagai guru, sedikit lebih maju dengan mencatat beberapa syairnya sebelum dibaca meskipun kebanyakan catatan tersebut tidak pernah disimpan setelah dibacakan.
"Beruntung saya menemukan beberapa catatan puisi itu, meskipun jauh lebih banyak yang hilang," tutur anak perempuannya, Anggriani Irwanto (45).
Salah satu dokumen yang terselamatkan adalah syair berjudul "Balada buat nenek tercinta" yang dipersembahkan pada upacara pemakaman neneknya, berisi kenangan dan hikmat yang diperoleh dari nenek semasa hidupnya.
Puisi untuk menghantar jenazah nenek tersebut ditulis di Weetabula pada 11 Juli 2001, berbunyi sebagai berikut :
Ketika senja itu berlalu,pada penghujung jalan ini, kami tepekur dalam sendunya senja yang memang sudah senja. Matahari sebentar lagi terbenam dan memang sudah terbenam.
Bagi kami, ini baru saja pagi dan masih panjang jalan yang akan kami tempuh untuk sampai ke batas cakrawala.
Bila kita buka lagi album kita bersama, hati ini berteriak lantang, 'terimakasih nenek terkasih'
Jasadmu akan dipeluk oleh pertiwi, namun kebijaksanaan seorang nenek akan tetap kami kenang.
Kami kenang ketegaranmu mengasuh, mendidik dan membesarkan ayah ibu kami.
Kami kenang kemampuanmu membagi hati, kami kenang kelembutan cintamu di dalam membesarkan cucu dan diammu menopang jalan kami semua.
Kebesaran hatimu menampung teman, sahabat dan handai taulan.
Kami kenang langkah akhir kakimu yang tertatih-tatih, mengisyaratkan rasa terimakasih yang dalam dan tulus dan engkau sendiri berdendang syukur, bersyukur puas karena engkau tahu, engkau dicintai anak dan cucumu.
Kini kau terbaring kaku dan diam, diam, diam seribu bahasa
Selamat jalan nenek tersayang, selamat jalan awu tercinta.
Ima Nudu, yang lahir 11 Februari 1941, bukan hanya dikenal pandai bersyair. Ia sudah beberapa kali menyutradarai pertunjukan sendratari bersama murid-muridnya untuk membawakan kisah legenda setempat.
"Kami sudah pernah mementaskan sendratari Dara Wula, kisah tentang seorang gadis di daerah Kodi, juga legenda Pato Bebe," kata perempuan yang masih enerjik meski usia sudah kepala tujuh itu.
Ima Nudu juga mengamati perubahan di masyarakat sekarang, yang antara lain terjadi karena pengaruh siaran televisi yang hadir langsung ke rumah-rumah.
Ia mengatakan generasi sekarang sudah jarang membuat puisi, bahkan budaya tenun juga bergeser karena banyak penenun tradisional tidak lagi menggunakan cara "ikat" yang khas.
"Saya berharap cara ikat pada tenun tradisional Kodi bisa kembali lagi," katanya.
Anggriani Irwanto berniat membukukan puisi-puisi karya Ima Nudu setidaknya sebagai dokumen sejarah keluarga. Rencana itu membuat Ima Nudu, yang punya lima putra dan putri, kembali bergairah menulis syair.
"Pergilah hai perempuan-perempuan perkasa, mengembaralah lebih jauh ke padang-padang sabana..." demikian penggalan puisi yang ditulis Maria Imaculata Nudu untuk para biarawati di Sumba, pulau elok dengan hamparan padang rumput.
Oleh Maria D. Andriana
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015